ACEH TAMIANG - Sepuluh tahun lebih mengantungkan hidup dari pemburuan butiran telur binatang melata bernama latin (Batagur borneoensis). Lepas senja, pria paruh baya itu bersiap menelusuri pantai Ujung Tamiang untuk menggerus lubang berisi butiran telur tuntong. Setiap malam hasil pemburuan tidak kurang 100 butir yang terkumpul untuk dilego kepada pembeli, Rp. 500 harga per butir di tahun 1995.
Kenikmatan berburu telur berbuah rupiah itu sudah berakhir. Abubakar, 64 tahun kini berbalik haluan. Ia bersama 7 (tujuh) orang lainnya dalam Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia, ikut melakukan pelestarian tuntong laut dan mengedukasi masyarakat sekitar untuk melindungi satwa berpunggung baja yang berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), berada di urutan ke-25 dari 327 spesies di dunia yang termasuk kategori hampir punah.
Kisah pemburuan telur Tuntong bukan sekadar pencarian rupiah. Masyarakat setempat yang memiliki penganan khas temuling atau vla (saus) srikaya untuk melengkapi ketupat mini yang terbuat dari ketan putih.
Penduduk Aceh Tamiang, khusunya di kecamatan Bendahara dan Seruway yang berada di pesisir pantai menjadikan temuling sebagai panganan harian yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat. Bila lebaran, pasti di setiap rumah tersedia temuling. Bukan cuma temuling, beberapa jenis kue khas juga lebih nikmat bila dicampur dengan telur bertekstur kenyal ini.
"Kenyal seperti telur penyu tapi berbentuknya lebih lonjong. Kalau direbus telur tidak bisa mengeras. Jadi langsung diseruput,"kata Abubakar, mantan pemburu yang beralih profesi jadi pecinta lingkungan.
Sekarang lezatnya temuling telur tutong sudah tidak dinikmati masyarakat Aceh Tamiang. Jika ingin menyantap kue khas itu, penduduk mengganti dengan telur ayam yang mudah didapatkan.
Itulah yang memotivasi para pencinta lingkungan dari warga setempat untuk melakukan konservasi, agar komponen pelezat makanan khas mereka tetap bisa dinikmati anak cucunya kelak. Mereka juga rutin melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tak lagi menggunakan Tuntong maupun telurnya sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
PT Pertamina EP Asset 1 Rantau Field, menilai upaya para pencinta lingkungan ini harus mendapat dukungan dari korporasi. Sejak tahun 2013, bersama segenap pemangku kepentingan, seperti Pemerintah Daerah dan Badan Konservasi Sumberdaya Alam Aceh Tamiang, anak perusahaan Pertamina ini terlibat dalam upaya Konservasi Keragaman Hayati Khas Aceh Tamiang untuk membantu operasional kegiatan pelestarian spesies di pesisir pantai Kabupaten Aceh Tamiang.
Field Manager PEP Rantau Field Richard Muthalib menyampaikan bahwa pekerja Rantau Field sendiri tergabung dalam tim konservasi Keanekaragaman Hayati dan pemberdayaan pelestarian Tuntong Laut. Mereka terlibat langsung dalam berbagai kegiatan mulai dari patroli pengamanan dan penetasan telur, pembesaran dan pelepasan tukik, pemantauan populasi, hingga penelitian genetik dan sosialisasinya. "Kami ikut patroli pada saat musim bertelur hingga menunggu penetasan sekitar November hingga April tiap tahun,"ujarnya.
Selama empat tahun berpartisipasi dalam konservasi Tutong Laut, PEP Field Rantau yang mengoperasikan salah satu aset hulu migas Pertamina di Aceh Tamiang akan terus mendukung ikhtiar pencinta lingkungan. Sampai saat ini sudah melepasliarkan 1204 tutong yang telah ditetaskan serta 73 Tuntong betina dewasa telah dikembalikan.
Abubakar kini bisa bernafas lega. Perasaan bersalah menjadi pemburu yang pernah mengeksploitas telur Tuntong dengan menjual kepada pengusaha di luar kampung perlahan hilang. Ia bahagia telah terlibat dalam menyelamatkan Tuntong untuk ditinggalkan kepada anak cucunya.