JAKARTA, 16 Juni 2014 – PT Pertamina (Persero) berkomitmen untuk terus menambah fasilitas pendistribusian BBM sebagai upaya untuk mengantisipasi pertumbuhan permintaan sekaligus menjangkau masyarakat yang lebih luas.
Senior Vice President Fuel Marketing and Distribution Suhartoko mengatakan bahwa selama tahun 2013 perusahaan telah menyalurkan sekitar 60 juta KL BBM, baik untuk retail PSO dan non PSO serta industri, hingga nelayan. Untuk itu, katanya, Pertamina didukung dengan infrastruktur distribusi BBM yang meliputi 200 kapal tanker berbagai ukuran, 6.600 outlet SPBU dan APMS, jalur pipa transmisi serta 112 terminal BBM dengan total kapasitas terpasang 4,72 juta KL.
“Dengan penugasan untuk mendistribusikan BBM ke seluruh Tanah Air, maka hal ini mengambil sekitar 70% dari seluruh aktifitas Pertamina. Tentunya ini merupakan bagian dari sumbangsih perusahaan dalam menyediakan energi untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang menjangkau pelosok negeri," kata Suhartoko.
Menurut dia, dengan tren konsumsi BBM yang terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, Pertamina perlu terus mengembangkan infrastruktur untuk memastikan kebutuhan BBM masyarakat dapat terpenuhi. Untuk itu, katanya, Pertamina telah merencanakan adanya beberapa penambahan fasilitas distribusi BBM.
Dia mencontohkan untuk fasilitas penampungan BBM, Pertamina telah menargetkan penambahan kapasitas penampungan bahan bakar minyak sebesar 1,25 juta KL menjadi 5,97 juta KL hingga 2018 yang tersebar di Indonesia bagian Timur, Tengah, maupun Barat. Untuk fasilitas retail, Pertamina tahun ini akan menambah sebanyak 226 outlet, mulai dari SPBU, Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), serta Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN).
Suhartoko menjelaskan untuk mendistribusikan BBM hingga ke pelosok negeri banyak tantangan yang harus dihadapi. Di beberapa daerah bahkan infrastruktur dasar masih kurang baik dan terbatas, tantangan alam seperti cuaca buruk mengingat wilayah Indonesia sekitar 70% di antaranya adalah perairan laut dan sungai, di sisi lain konsumsi BBM untuk wilayah-wilayah tersebut skala keekonomiannya kecil sehingga menjadikan wilayah tersebut kurang menarik untuk investor.
“Oleh karena itu banyak badan usaha yang tidak mau memberikan pelayanan ke daerah-daerah seperti itu karena memang kurang menjanjikan keuntungan buat mereka. Akan tetapi, bagi Pertamina hal itu merupakan penugasan yang harus dilakukan,” tegasnya. Dalam kondisi seperti itu, peran Pemerintah Daerah dalam membangun infrastruktur untuk penyediaan energi menjadi sangat penting.
Salah satu contoh yang terjadi di Papua, lanjut Suhartoko, Pertamina harus melibatkan banyak moda transportasi mulai dari tanker, ditransfer ke tongkang, hingga diangkut dengan pesawat. Di Kalimantan Barat, ketika memasuki musim kemarau maka sungai Kapuas mengalami pendangkalan sehingga distribusi BBM dari Pontianak menuju Depot Sintang yang biasanya dapat dilalui kapal, harus menggunakan truk tangki yang memakan waktu lebih dari 10 jam. “Hal-hal tersebut tentunya menjadikan biaya distribusi menjadi lebih mahal. Itu semua harus dilakukan demi mengantarkan BBM agar dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat," tutupnya.