Mengejar Mimpi Ke London

10 October 2017

Malam Anugerah Jurnalistik Pertamina (AJP) 2016 merupakan malam terbaik karena tanpa diduga saya berhasil menyabet karya tulis terbaik untuk kategori CSR.

Masih tidak percaya memenangi salah satu kategori bergengsi itu, saya kembali dikejutkan karena karya tulis berjudul “Naufal Penemu Pohon Listrik, Inspirasi Bagi Anak Bangsa” yang menceritakan kisah sukses seorang anak yang berasal dari pedalaman negeri Serambi Mekkah, Nanggroe Aceh Darussalam yang sukses menemukan inovasi pohon listrik dinobatkan sebagai karya terbaik dalam AJP 2016.

Hasil tersebut membuat saya berkesempatan mendapatkan hadiah utama yakni menjajal pengalaman baru di London, Inggris untuk melakukan media visit sekaligus studi tentang jurnalistik. Tantangan berat sempat ditemui saat persiapan keberangkatan. Wajar saja, ini baru pertama saya terbang dengan burung besi keluar wilayah Tanah Air, otomatis kelengkapan administrasi menjadi concern utama yang harus dipenuhi. Belum lagi dengan jadwal studi di London yang memiliki kalender berbeda dengan Indonesia. Namun setelah melalui penantian, akhirnya tiket Soekarno Hatta–Heathrow pun saya raih.

Hidup di London meskipun hanya beberapa minggu mengubah seluruh cara pandang hidup saya. Beraktivitas di salah satu kota termaju di dunia ini memang jauh berbeda. Satu hal yang langsung berubah adalah penggunaan moda transportasi. Jika di Indonesia saya selalu menggunakan sepeda motor, di London kita akan sangat bergantung pada kemampuan berjalan kita.

Di sana transportasi umum sangat diandalkan, yang harus kita lakukan hanya kemauan berjalan ke halte bus atau stasiun underground (kereta bawah tanah) yang jarakny asaling berdekatan. Anda akan benar-benar dimanjakan dengan sistem transportasi umum di sana.

Kita tidak akan lagi stres memikirkan kemacetan di jalan yang kerap kita alami saat dijakarta, karena ketika harus beraktivitas kita sudah bisa mengistimasikan waktu dengan tepat. Karena hampir seluruh moda transportasi selalu on time atau sesuai dengan jadwal.

Nerveous belajar di negeri orang? Sudah pasti. Apalagi kita harus menggunakan bahasa asing yang tidak familiar kita gunakan.Sensasi belajar di salah satu kota yang menjadi kiblat pendidikan dunia sangat luar biasa. Ada dua sesi yang saya pelajari selama dua minggu di London, tepatnya di University Art of London (UAL) dan London Collage of Communication yang merupakan bagian dari UAL.

Sesi pertama yakni General English atau bahasa Inggris secara umum, yakni bagaimana mengaplikasikan bahasa inggris dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam dunia Jurnalistik. Belajar bahasa Inggris di negara asalnya bisa dibilang membuat kepercayaan diri kita meningkat jauh. Kita dituntut untuk langsung mempraktikan semua materi yang ada melalui presentasi secara sederhana namun tetap memperhatikan kaidah berbahasa Inggris yang baik dan benar pastinya.

Yang terpenting dari mengikuti kelas General English menurut saya adalah berinteraksi secara langsung dengan berbagai teman kelas yang berasal dari berbagai negara seperti Brazil, Thailand, Jepang, Korea Selatan, Argentina. Selain itu, di UAL kita tidak hanya berinteraksi dengan teman sekelas kita tapi teman satu program short course yang berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.

Puas mengikuti kelas general english pada minggu pertama, hari-hari di minggu kedua saya diisi dengan materi jurnalistik di London Collage of Communication atau LCC. Saya cukup beruntung dalam sesi kelas jurnalistik ini karena pemateri yang saya dapatkan adalah Rayner salah satu jurnalis senior di Inggris.

Dalam sehari kami membedah bagaimana melihat sudut pandang jurnalistik dari kacamata industri media yang berkembang di negara-negara maju seperti Inggris. Sesi ini membuat saya sadar bahwa proses untuk menghasilkan berita di negara-negara maju tidaklah sembarangan, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, namun ada kaidah dan etika jurnalistik yang masih mereka pegang hingga saat ini.

Bahkan saya mendapatkan kesempatan berharga dalam satu hari menggarap berita dengan tema yang cukup sensitif saat itu ada di sekitar London, yakni kehidupan minoritas muslim di London.

Penasaran sekaligus deg-degan pasti ada karena seperti diketahui belum lama ini banyak aksi teror terjadi di London yang mendeskreditkan umat muslim di sana.

Namun ketakutan yang sempat dirasakan berubah 180 derajat menjadi semangat untuk menggali lebih dalam. Di kawasan Elephant and Castle, salah satu wilayah di pusat kota London, saya mendapati kehidupan masyarakat imigran muslim yang merasa sangat nyaman hidup berdampaingan dengan umat beragama lain, tanpa terpengaruh dengan berbagai aksi teror yang belakangan terjadi.

Asal tahu saja setelah terjadi beberapa aksi teror yang mengatasnamakan umat Islam pengurus masjid di sana didatangai pihak kepolisian dan justru diminta untuk melapor ke aparat jika ada masyarakat yang bertindak diskriminatif. Polisi bersama masyakat secara berkala terus melakukan tindakan preventif untuk mengantisipasi tindakan-tindakan anarkis balasan terhadap umat Islam. Bahkan disana terdapat pusat kajian Islam dan menjadi salah satu yang terbesar di kota London.

Dua minggu di London tentu tidak hanya diisi dengan kegiatan belajar, sebagai salah satu kota yang mendapatkan predikat tujuan wisata utama di dunia tentu tidak akan dilewatkan begitu saja. Saya habiskan waktu untuk berkeliling London di sela waktu belajar, untungnya perbedaan waktu yang ada cukup membantu.

Jika di Indonesia matahari bersinar selama 12 jam dari subuh sekitar pukul 5 pagi hingga pukul 6 sore, maka di London yang saat itu sedang summer season matahari bersinar lebih dari 18 jam, karena matahari tenggelam baru pukul 10 malam. Memang terasa aneh diawal, namun setelah beberapa hari justru perbedaan waktu inilah yang membuat saya leluasa berkeliling London.

Banyak yang bisa kita lakukan di London tidak hanya, wisata berbelanja seperti di Regent Street, Oxford Street, Camden Market, Portobello ataupun Harrods sebagai menu utama. Keberadaan berbagai bangunan bernilai sejarah dunia seperti museum juga bisa kita kunjungi secara gratis. Menyaksikan changing guard di Buckingham Palace yang legendaris tentu tidak bisa dilewatkan.

Kemudian London Bridge, Wesminster Bridge, Big Ben, London Eye, Abbey Road , Gedung Parlemen, Sungai Thames menjadi daftar wajib kunjungan. Selain itu juga ada, serta berbagai taman kota yang tersebar di Kota London sangat memanjakan masyarakat yang hidup di sana.

Kurang pas rasanya jika ke Inggris tidak menyembangi stadion sepakbola disana. Ada beberapa klub besar yang bermarkas di kota London namun saya memilih dua klub terbesar yakni Stamford Bridge sebagai home base Chelsea serta Emirates Stadium kandang dari Arsenal. Mimpi jadi nyata, karena selama ini hanya melihat kedua stadion tersebut dari layar kaca namun kini berhasil menginjakan kaki di stadion tersebut. Meskpun sayang tidak bisa menyaksikan kegiatan dari kedua tim tersebut karena kedua tim sedang melakukan lawatan pre season kala itu.

Ada pepatah lama nan klise mengatakan teruslah bermimpi dan berusaha, niscaya mimpi itu akan terwujud dengan cara yang tidak kita duga-duga. Saya pribadi yang tidak terlalu memikirkan pepatah tersebut bahkan tidak jadikan pepatah itu sebagai pelceut untuk meraih mimpi yang saya tahu ya kerjakan saja apa yang ada di depan mata.

Namun pandangan saya terhadap pepatah tersebut seketika berubah berganti 180 derajat karena mimpi saya benar-benar terwujud dengan cara yang tidak diduga-duga. Misalnya saja melalui ajang Anugerah Jurnalistik Pertamina. (Rio Indrawan, Juara Pertama Kategor CSR dan Best of The Best Anugerah Jurnalistik Pertamina 2016)

Share this post