Batik Mangrove Khas Bontang

Batik _BontangBONTANG - Kusrini, tengah asyik menggambar pola burung kuntul perak (bangau berkaki panjang) di atas selembar kain putih. Kegiatan awal yang dilakoninya untuk membuat batik khas kota Bontang. Sudah enam bulan, Kusrini bersama empat wanita lainnya, menjadi perajin batik di Pondok Batik Etam, milik Hj. Sri Wahyuni.

 

Keahlian membatik di­dapat Kusrini bersama rekan-rekannya, sejak mengikuti kursus membatik di Pondok Batik Etam, bekerja sama dengan PT Badak NGL. “Waktu itu kami diajarkan membuat batik dari awal hingga akhir selama seminggu. Pengajarnya didatangkan dari Yogya,” ujar Kusrini.

 

Usai mendapat pelatihan, Kusrini menggeluti kerajinan batik, untuk mengisi waktu luang. Soal bahan baku, Dia tak perlu belanja. Ibu Hajjah – begitu Kusrini menjebut Sri Wahyuni – menyediakan bahan baku dan peralatan yang bisa dibawa pulang. Harapannya agar para perajin bisa mengerjakannya di rumah. “Saya biasa ke workshop pondok Etam, saat mengambil bahan baku dan tahap pewarnaan,”jelas perempuan yang bisa menghasilkan 4 potong batik cap per minggu atau 1 potong batik tulis per bulan. Dari batik yang diproduksinya, Kusrini bisa mendapat imbalan Rp75 ribu per potong untuk batik cap, sementara batik tulis lebih mahal lagi, tergantung detilnya. “Rata-rata sebulan kami bisa dapat 1 jutaan,” ka­ta Kusrini sumringah.

 

Ciri khas batik yang di­produksi di Pondok Batik Etam, selain pada motifnya, juga teknik pewarnaan alami dari mangrove. “Kini batik mangrove semakin dikenal, bahkan sudah menjadi ba­tik khas Bontang,” jelas Sri Wahyuni. Alhasil batik mangrove sering dikenakan para pejabat daerah, tokoh masyarakat. Bahkan PT Badak NGL menjadikannya sebagai souvenir perusa­haan. ”Biasanya dibuat scarf batik berlogo PT Badak,”jelasnya.

 

Satu hal yang membuat usaha Sri Wahyuni makin dikenal, karena dia sering diajak mengikuti berbagai pameran oleh PT Badak NGL, di daerah dan Jakarta. “Detil batik, bahan dasar, serta proses pembuatannya, menjadi dasar harga batik mangrove,”kata Sri Wahyuni yang mematok harga batik dari Rp 400 ribu  hingga jutaan rupiah per potong. Batik tulis dengan bahan sutera akan lebih mahal dibandingkan batik cap dengan bahan katun. Apalagi proses pewarnaan yang memakan waktu lama. “Harus diulang beberapa kali agar warnanya nempel,” ujar pengusaha batik yang mampu meraih omzet hingga Rp 15 juta per bulan ini.

 

Pewarna mangrove yang terdiri dari warna hitam, coklat tua hingga muda,  diperoleh Sri Wahyuni dari kelompok pelestarian mangrove binaan PT Badak NGL. Menurut Manager External Relations, CSR, Media and Corporate Communication Department PT Badak NGL, Bambang Budi Rahardjo, PT Badak NGL sengaja membuat program pemberdayaan masyarakat yang mengarah pada pemenuhan kebu­tuhan masyarakat dan berkesinambungan, yang mendorong kemandirian dan kreatifitas masyarakat dalam mengembangkan usahanya. “Antara kelompok pemberdayaan yang satu dengan lainnya diupayakan saling menopang, agar usahanya terus berlanjut,”kata Bambang.•DSU

Share this post