Budidaya Ikan Nila Terancam Pencemaran Tawas

Sangasanga – “Pence­maran tawas atau aluminium sulfat dalam air limbah penam­bangan  batu bara yang dibuang ke sungai Sangasanga, Kalimantan Timur  mengancam budi daya ikan nila dalam keramba, program CSR  binaan PEP Field Sangasanga,”  ungkap Asrani, Ketua Karang Taruna Sarijaya (KTS),  pengelola keramba-keramba tersebut.

 

Budidaya ikan nila dalam keramba yang berlokasi sepanjang tepi Sungai Sa­nga­sanga, Kecamatan Sa­ngasanga Kalimantan Timur, itu merupakan program CSR unggulan PT. Pertamina EP Field Sangasanga yang  dikerjasamakan dengan KTS. Bantuan yang diberikan meliputi pelatihan budidaya, bantuan peralatan pembuat pakan ikan, dan pelatihan pengolahan pakan ikan.

 

Berawal dari inisiatif ang­gota karang taruna yang mengirimkan proposal pe­ngajuan biaya pelatihan ke­pada Pertamina EP Field Sa­ngasanga, pada 2011 diberangkatkan lima pemuda anggota KTS, Sangasanga untuk mengikuti pelatihan budi daya ikan nila yang diselenggarakan oleh Balai Pelatihan Perikanan di Sukabumi (BPPS).  “Sepulang dari pelatihan tersebut,  dengan menggunakan sisa uang bantuan Pertamina kami membangun 20 petak  keramba serta mengisi 500 bibit ikan nila  ke dalam setiap keramba tersebut,” ucap Asrani pada 13/11/2013 lalu. Gerakan lima orang alumni BPPS dimaksud ternyata terus berkembang, hingga 2013 usaha ini  telah diikuti oleh 20 orang  yang mengelola 130 keramba.

 

Namun kendala mulai muncul dari pencemaran sungai akibat pembuangan limbah kegiatan tambang batu bara yang mengancam keberlangsungan hidup biota sungai, termasuk ikan-ikan  yang ada dalam keramba. Tawas atau aluminium sulfat yang digunakan untuk men­­jernihkan air limbah  pe­nambangan batu bara  di­buang ke dalam sungai mem­buat pH air turun mencapai 3,5 padahal syarat tumbuh sehat bagi ikan nila pada pH 6 sampai 9.

 

“Tawas yang mereka gunakan dosisnya keba­nyak­an, jadi ikan kami ba­nyak yang mati,” kata As­rani menunjukkan keke­cewaannya. Secara resmi KJS  me­la­por­kan hal tersebut ke­pa­da lembaga-lembaga ter­kait  khususnya ke Ba­dan Ling­kungan Hidup Kabu­paten Kutai Kartanegara.  Pengambilan sampel air sudah dilakukan oleh peneliti dari Fakultas Perikanan Uni­­­versitas Mulawarman Sa­marinda, namun hingga kini belum ada tindakan yang ber­arti. “Kami tidak tahu lagi harus mengadu ke­ma­na,” keluh Asrani pasrah meng­hadapi situasi tanpa so­lusi, yang mengancam ke­lang­sungan budi daya ikan nila dalam keramba di sungai Sangasanga.

 

Perusahaan-perusahaan penambangan batu bara yang beroperasi di Sangasanga, secara massive dan se­me­na-mena mengeruk ca­dang­an batubara tanpa meng­indahkan prinsip-prinsip bis­nis berbasis nilai-nilai good corporate governance (GCG), terutama dalam merawat ling­kungan dan menjaga ke­les­tarian alam.  Apabila hal ini terus berlanjut, bukan ti­dak mungkin keramba-keramba yang saat ini  memberdayakan ekonomi masyarakat dengan  laba bersih sebesar Rp 1,5 juta lewat setiap kali panen ikan nila  akan  tergusur selama­nya.•PEP

Share this post