JAKARTA - Program bioetanol untuk bahan bakar kendaraan perlu disambut baik karena bahan bakar nabati (BBN) menjadi solusi efektif untuk dekarbonisasi di sektor transportasi yang merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar.
Kesuksesan implementasi program biodiesel di Indonesia bisa menjadi contoh program bioetanol. Tidak saja menurunkan emisi GRK, program bioetanol berpotensi menurunkan impor BBM karena sebagian diganti dengan bioetanol. Program bioetanol selaras dengan Asta Cita pemerintah, khususnya terkait swasembada pangan dan energi, serta menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.
Untuk diketahui, sesuai dengan peta jalan bioetanol pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 40 tahun 2023, target penyediaan bioetanol nasional mencapai 1,2 juta kiloliter (KL) per tahun pada tahun 2030. Sementara, tingkat kapasitas produksi bioetanol fuel grade saat ini baru mencapai 63 ribu KL per tahun, sehingga terdapat gap supply dan demand yang akan semakin besar seiring dengan meningkatnya proyeksi penggunaan BBM dengan campuran bioetanol. Saat ini, bioetanol sebesar 5%telah menjadi campuran Pertamax Green 95 yang diluncurkan tahun lalu oleh PT Pertamina Patra Niaga dan telah tersedia di 101 SPBU di Jabodetabek dan Surabaya.
Pemanfaatan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan juga akan mendorong optimalisasi sumber energi domestik, di mana Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Tidak saja dari molase yang merupakan produk sampingan gula, bioetanol dapat berasal dari singkong, jagung, dan sorgum.
Namun terlepas dari potensi tersebut, terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan bioetanol. Salah satunya adalah persaingan pemanfaatan bioetanol untuk pangan, industri, dan bahan bakar. Terlebih saat ini bahan baku bioetanol yakni molase, merupakan produk komoditas yang menjadi langganan untuk diekspor. Penawaran dari industri pangan dan industri lain untuk molase, ditambah potensi ekspor yang menarik di kancah internasional, menjadikan ketersediaan pasokan bahan baku utama di dalam negeri menjadi lebih terbatas,ehingga, harga bioetanol menjadi lebih tinggi dibandingkan harga bahan bakar minyak (BBM) dikarenakan kompetisi bahan baku. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada harga jual ke konsumen apabila tidak ada insentif.
Tantangan lainnya adalah perlunya penyediaan lahan cukup luas untuk menanam tanaman bahan baku bioetanol, tidak hanya tebu, tapi juga singkong, jagung, dan sorgum. Secara keseluruhan, diperlukan regulasi yang holistik dari hulu ke hilir untuk pengembangan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan, termasuk regulasi menjadikan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan sebagai mandat, seperti halnya yang diimplementasikan terhadap program biodiesel.
Pertamina sebagai BUMN energi yang memiliki peran strategis dalam mendukung swasembada energi nasional telah memiliki peta jalan dan inisiatif pengembangan bioetanol. Saat ini Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) bekerja sama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk membangun pabrik bioetanol berbasis molase di Glenmore, Banyuwangi, dengan kapasitas 30 ribu KL per tahun. Dalam peta jalannya, Pertamina NRE memiliki rencana-rencana pengembangan bioetanol baik secara organik maupun anorganik melalui diversifikasi beragam sumber bahan baku.*SHPNRE