Compliance Program: Perlindungan Whistleblower dan Dilema Pengungkapannya

Compliance Program: Perlindungan Whistleblower dan Dilema Pengungkapannya

16-LCC Compliance Program Perlindungan WhistleblowerJakarta - Sebagai upaya Legal Counsel & Compliance (LCC) untuk meningkatkan pemahaman para pekerja mengenai pentingnya pe­la­poran Whistleblower (WB) bagi perusahaan dan jaminan perlindungan yang diberikan oleh perusahaan kepada pelapor, LCC me­nyelenggarakan Com­plian­ce Program (CP), pada Ra­bu (12/10). Hadir sebagai pem­bicara adalah Abdul Ha­ris Semendawai, S.H., L.LM., Ketua Lembaga Per­lin­dungan Saksi dan Korban Re­publik Indonesia (LPSK RI).

 

CP dibuka oleh Genades Panjaitan, Chief Legal Counsel & Compliance (CLCC). CLCC mengimbau bahwa apabila kita menge­tahui adanya suatu kecu­rangan/pelanggaran etika bisnis, kita harus berani meniupkan peluit. Untuk melaporkannya, kita sudah memiliki Whistleblowing System (WBS). WBS akan berhasil/bermanfaat apabila kita yang berada di sini dan stakeholders Pertamina memanfaatkannya. “Sistem sudah dibentuk dan kita ditantang untuk dapat me­manfaatkan ini untuk me­majukan perusahaan,” ujarnya. Di akhir sambutan Genades menyerukan, “Ma­ju dan bersihlah Pertamina!” 

 

Abdul Haris menyam­paikan bahwa LPSK RI sa­ngat mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan oleh LCC PT Pertamina (Persero), ke­mudian CLCC sudah men­­jelaskan bagaimana di­lema pengungkapan suatu ke­curangan/pelanggaran hu­­kum yang terjadi di satu ins­ti­tusi, tetapi problemnya ada­lah apakah mau diam saja atau mau menyuarakan berbagai kecurangan tadi. Oleh karena itu, berangkat dari problem yang dike­mu­kakan, saya diminta untuk men­jelaskan beberapa hal me­ngenai WB, WBS, dan dinamika perlindungan ter­hadap WB.

 

Dalam sesi pemaparan, Ketua LPSK RI menjelaskan bahwa WB memegang peran dalam membongkar bermacam pelanggaran hukum atau kejahatan, mal-administrasi, kecurangan, mismanajemen/salah pe-ngurusan, dan kelalaian yang memiliki dampak yang merugikan bagi pub­lik, sedangkan potret rea­litas WB antara lain: (1) Ketika WB berbicara untuk mengungkap praktik-praktik tidak sah yang dilakukan atasan, rekan, mitra bisnis, atau klien mereka, mereka mempertaruhkan pekerjaan, pendapatan, dan keamanan mereka, (2) banyak WB harus menghadapi ketidakpedulian atau ketidakpercayaan dan dalam banyak kasus laporan mereka tidak diselidiki/ditin­daklanjuti secara benar, dan (3) seringkali WB berakhir dalam proses hukum dan selama bertahun-tahun untuk memperjuangkan hak-hak mereka sendiri atau untuk kasus yang dilaporkan oleh mereka agar dapat diproses dengan benar, dan (4) hasilnya, para WB kerap mendapati berbagai masalah dan nestapa: dipi­dana, ancaman intimidasi yang kemudian mengurangi kesejahteraan mereka, depre­si, dan pensiun dini, bah­kan pembunuhan.

 

Abdul Haris juga me-nerangkan bahwa dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 (UU 13/2006 jo. UU 31/2004) diatur bahwa hak saksi dan korban diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai keputusan LPSK RI. Jika kita membaca lebih lanjut pasal 5 ayat (3) UU 13/2006 jo. UU 31/2004, hak tersebut juga dapat diberikan kepada saksi pelaku, pe­lapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat mem­berikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu ber­hubungan dengan tindak pidana.

 

Dalam sesi tanya jawab, lulusan Master of Laws (L.LM.) University of Chicago ini memberikan tanggapan bahwa dalam rangka mem-perbaiki kesalahan masa lalu, yaitu perlakuan terhadap WB yang tidak tepat. Saat ini pemerintah dan perusahaan telah membangun dan mem­berlakukan WBS untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Beberapa manfaat WBS adalah memperoleh informasi yang sangat penting dan critical, membuat orang enggan melakukan pelanggaran, mendeteksi dari dini, mengurangi risiko, dan mengurangi biaya dalam hal sudah terjadi akibat. Se­cara otomatis, dengan kita memahami manfaat WBS, kita terdorong un­tuk menciptakan WBS yang kredibel yang dapat melindungi para pelapor. Bahkan, WB yang melapor akan mendapat penghargaan dan perlindungan, kemudian bisa dijadikan pahlawan. “Orang yang menjadi pah­lawan bagi perusahaan ka­rena dia sudah menye­lamatkan perusahaan dari tin­dakan-tindakan yang da­pat merugikan perusahaan tersebut,” ujarnya.

 

Di penghujung acara di­bacakan mengenai hasil survei yang telah diisi oleh para peserta CP. Salah satu hasil survei yang cukup menge­jutkan adalah 60% pe­serta CP menyatakan keragu-raguannya bah­wa perusahaan telah mem­berikan perlindungan ke­pada pelapor yang mela­porkan pelanggaran melalui WBS. Sejalan dengan arahan Genades bahwa VP Compliance diminta untuk menindaklanjuti CP ini dengan penandatanganan Memorandum of Under­standing (MoU) antara PT Pertamina (Persero) dengan LPSK RI, diharapkan agar MoU dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi keraguan para pekerja Pertamina tersebut, malah sebaliknya para pe­kerja Pertamina semakin aktif untuk melapor setiap pe­langgaran/kecurangan me­­lalui WBS karena yakin bah­wa perusahaan akan me­lindungi WB.•LCC

Share this post