Jakarta - Sebagai upaya Legal Counsel & Compliance (LCC) untuk meningkatkan pemahaman para pekerja mengenai pentingnya pelaporan Whistleblower (WB) bagi perusahaan dan jaminan perlindungan yang diberikan oleh perusahaan kepada pelapor, LCC menyelenggarakan Compliance Program (CP), pada Rabu (12/10). Hadir sebagai pembicara adalah Abdul Haris Semendawai, S.H., L.LM., Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI).
CP dibuka oleh Genades Panjaitan, Chief Legal Counsel & Compliance (CLCC). CLCC mengimbau bahwa apabila kita mengetahui adanya suatu kecurangan/pelanggaran etika bisnis, kita harus berani meniupkan peluit. Untuk melaporkannya, kita sudah memiliki Whistleblowing System (WBS). WBS akan berhasil/bermanfaat apabila kita yang berada di sini dan stakeholders Pertamina memanfaatkannya. “Sistem sudah dibentuk dan kita ditantang untuk dapat memanfaatkan ini untuk memajukan perusahaan,” ujarnya. Di akhir sambutan Genades menyerukan, “Maju dan bersihlah Pertamina!”
Abdul Haris menyampaikan bahwa LPSK RI sangat mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan oleh LCC PT Pertamina (Persero), kemudian CLCC sudah menjelaskan bagaimana dilema pengungkapan suatu kecurangan/pelanggaran hukum yang terjadi di satu institusi, tetapi problemnya adalah apakah mau diam saja atau mau menyuarakan berbagai kecurangan tadi. Oleh karena itu, berangkat dari problem yang dikemukakan, saya diminta untuk menjelaskan beberapa hal mengenai WB, WBS, dan dinamika perlindungan terhadap WB.
Dalam sesi pemaparan, Ketua LPSK RI menjelaskan bahwa WB memegang peran dalam membongkar bermacam pelanggaran hukum atau kejahatan, mal-administrasi, kecurangan, mismanajemen/salah pe-ngurusan, dan kelalaian yang memiliki dampak yang merugikan bagi publik, sedangkan potret realitas WB antara lain: (1) Ketika WB berbicara untuk mengungkap praktik-praktik tidak sah yang dilakukan atasan, rekan, mitra bisnis, atau klien mereka, mereka mempertaruhkan pekerjaan, pendapatan, dan keamanan mereka, (2) banyak WB harus menghadapi ketidakpedulian atau ketidakpercayaan dan dalam banyak kasus laporan mereka tidak diselidiki/ditindaklanjuti secara benar, dan (3) seringkali WB berakhir dalam proses hukum dan selama bertahun-tahun untuk memperjuangkan hak-hak mereka sendiri atau untuk kasus yang dilaporkan oleh mereka agar dapat diproses dengan benar, dan (4) hasilnya, para WB kerap mendapati berbagai masalah dan nestapa: dipidana, ancaman intimidasi yang kemudian mengurangi kesejahteraan mereka, depresi, dan pensiun dini, bahkan pembunuhan.
Abdul Haris juga me-nerangkan bahwa dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 (UU 13/2006 jo. UU 31/2004) diatur bahwa hak saksi dan korban diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai keputusan LPSK RI. Jika kita membaca lebih lanjut pasal 5 ayat (3) UU 13/2006 jo. UU 31/2004, hak tersebut juga dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Dalam sesi tanya jawab, lulusan Master of Laws (L.LM.) University of Chicago ini memberikan tanggapan bahwa dalam rangka mem-perbaiki kesalahan masa lalu, yaitu perlakuan terhadap WB yang tidak tepat. Saat ini pemerintah dan perusahaan telah membangun dan memberlakukan WBS untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Beberapa manfaat WBS adalah memperoleh informasi yang sangat penting dan critical, membuat orang enggan melakukan pelanggaran, mendeteksi dari dini, mengurangi risiko, dan mengurangi biaya dalam hal sudah terjadi akibat. Secara otomatis, dengan kita memahami manfaat WBS, kita terdorong untuk menciptakan WBS yang kredibel yang dapat melindungi para pelapor. Bahkan, WB yang melapor akan mendapat penghargaan dan perlindungan, kemudian bisa dijadikan pahlawan. “Orang yang menjadi pahlawan bagi perusahaan karena dia sudah menyelamatkan perusahaan dari tindakan-tindakan yang dapat merugikan perusahaan tersebut,” ujarnya.
Di penghujung acara dibacakan mengenai hasil survei yang telah diisi oleh para peserta CP. Salah satu hasil survei yang cukup mengejutkan adalah 60% peserta CP menyatakan keragu-raguannya bahwa perusahaan telah memberikan perlindungan kepada pelapor yang melaporkan pelanggaran melalui WBS. Sejalan dengan arahan Genades bahwa VP Compliance diminta untuk menindaklanjuti CP ini dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Pertamina (Persero) dengan LPSK RI, diharapkan agar MoU dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi keraguan para pekerja Pertamina tersebut, malah sebaliknya para pekerja Pertamina semakin aktif untuk melapor setiap pelanggaran/kecurangan melalui WBS karena yakin bahwa perusahaan akan melindungi WB.•LCC