JAKARTA - Tidak ada kata henti bagi PT Pertamina (Persero) dalam menjaga irama produksi. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang energi andalan bangsa, ini terus berlari demi menjaga ketahanan energi negeri. Ketangguhan Pertamina mengelola lapangan minyak dan gas bumi (migas) telah terbukti dalam berbagai kondisi, mulai dari faktor internal yakni kondisi lapangan yang sebagian besar masuk kategori mature, hingga faktor eksternal jatuhnya harga minyak dunia beberapa waktu lalu. Semua tantangan tersebut menjadikan para jawara hulu Pertamina lebih kreatif dan inovatif dalam menghadapi kendala operasi.
Salah satu lapangan yang tetap menjadi backbone produksi migas Pertamina, meski mulai termakan usia adalah Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ, di lepas pantai Jawa Barat bagian Utara. Kinerja apik PHE ONWJ merupakan buah dari kerja keras dan cerdas seluruh jajarannya, dalam mengatasi setiap tantangan operasi. Contoh, masalah tersumbatnya pipa alir bawah laut dari “BNA” Platform menuju “BL” Platform di area Bravo. Penyumbatan jalur pipa tersebut, menyebabkan kehilangan produksi sebesar 34.294 barrel oil equivalent (BOE) atau setara Rp 22,79 miliar karena unplanned shutdown.
Menurut Hans Safready, Production Facility Maintenance Supervisor West Area PHE ONWJ yang bertanggung jawab dalam mencarikan solusi mengatasi masalah itu, penyebab pipa alir tersumbat dikarenakan adanya akumulasi pasir yang ikut terproduksi dari sumur BNA-11. Sumur ini tidak dilengkapi dengan fasilitas sand screen atau gravel pack untuk menyaring pasir, karena ketika awal produksi (April 2013) kandungan basic sediment & water (BS&W) sumur BN-11 adalah 0%.
Setelah berproduksi sekitar setahun setengah, pada Oktober 2014 diketahui kandungan BS&W sumur BNA-11 naik hingga 35%. Sejak saat itu, sumur BNA-11 dijaga produksinya agar pasir tidak terakumulasi secara massive ke permukaan. Namun, pasir yang terproduksi sedikit demi sedikit itu, menumpuk dan terbawa sampai ke pipa alir. Hal lain, keterbatasan jumlah pekerja membuat kontrol BS&W di anjungan tidak optimal. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibentuk tim yang bertugas melakukan rekayasa teknik dan aplikasi Flowline Sand Removal (FSR). “Sistem ini memiliki keunggulan biaya dan waktu modifikasi yang lebih cepat dengan keandalan yang mumpuni,” jelas Hans.
Inovasi rekayasa teknik dan aplikasi sistem FSR dilaksanakan melalui penahapan dan kriteria engineering meliputi pengambilan sample fluida, test BS&W, analisa lab ukuran partikel pasir, perhitungan volume pasir, perhitungan ukuran mesh wire, dan evaluasi konfigurasi flowline yang sudah terpasang. Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan hasil cukup signifikan di antaranya: (1) ancaman erosi pada pipa alir dapat diatasi lewat rekayasa penggantian elbow dengan tee end blind, (2) pasir yang terproduksi akan tersaring pada basket mesh yang sudah dipasang pada flowline, (3) untuk perawatan sistem ini dilengkapi dengan removable cap sehingga mudah saat dilakukan pembersihan. Setelah pemasangan sistem FSR di pipa alir, terbukti cara ini mampu menyaring pasir terproduksi hingga 83% dan tekanan jaringan pipa bawah laut Anjungan BNA-BL terjaga fluktuasinya antara 55-60 psi, dari sebelumnya 60-80 psi.
“Selain itu, terjadi kenaikan produksi minyak pada sumur BNA-11 hingga 72 barel per hari, dan yang paling penting potensi kerugian Rp 22,79 miliar akibat unplanned shutdown bisa dihilangkan,” tutup Hans.•DIT. HULU