Dirut Pertamina Dwi Soetjipto: Pertamina Bisa Kalahkan Petronas

Dirut Pertamina Dwi Soetjipto: Pertamina Bisa Kalahkan Petronas

KATADATA - Anjloknya harga minyak mentah dari kisaran US$100 per barel menjadi kurang dari US$ 30 per barel, menghantam industri migas dunia, tak terkecuali PT Pertamina (Persero). Namun, di mata Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto, kondisi ini justru mendatangkan peluang.

 

Sederet rencana telah disusun untuk mengantarkan Pertamina kembali menjadi salah satu perusahaan migas nasional yang disegani di dunia. Apa saja rencana besar itu, Dwi memaparkannya selama hampir dua jam dalam wawancara khusus dengan tim Katadata di ruang kerjanya di lantai tiga Gedung Pertamina, Jakarta, Jumat dua pekan lalu (19/2).

 

“Ini saatnya Pertamina memperbesar kapasitas produksi di sektor hulu,” kata lelaki 59 tahun yang rajin bersepeda sejauh 21 kilometer menuju kantor, dari rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, ini.

 

Bagaimana posisi Pertamina sebagai BUMN yang tipikal monopolistik, tapi juga harus bersaing?

 

Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) sebenarnya sangat lambat berkembang. Tulang punggung NOC seharusnya menguasai upstream (sektor hulu) yang besar. Di Indonesia, yang pasarnya cukup besar, yakni sekitar 1,6 juta barel minyak per hari (bph), kapasitas kilang kami hanya 800 ribu bph.

 

Dari jumlah kebutuhan itu, produksi Pertamina hanya sekitar 300 ribu bph. Itu berarti cuma sekitar 20-23 persen dari produksi migas nasional. Selama ini Pertamina kurang diberikan kewenangan. Padahal, cadangan minyak itu milik negara. Jadi, harus dikelola negara lewat tangan-tangan negara yang bergerak di bidang bisnis itu. Pertamina harus siap dijadikan alat negara untuk mengelola aset negara tadi.

 

Sejauh mana peran perusahaan multinasional?

 

Risiko di sektor hulu itu tinggi. Dalam rangka mengelola risk management, Pertamina sebagai alat negara semestinya bermitra dengan swasta dan International Oil Company (IOC). Dengan peran NOC yang lebih kuat, bisa dikembangkan teknologi yang dibawa oleh IOC. Kalau kita lihat, NOC-NOC yang ada pada umumnya belum mampu mengembangkan teknologi sendiri. Jadi, IOC punya teknologi dan kami bermitra di situ.

 

Bagaimana dengan sektor hilir?

 

Upstream tidak bisa berdiri sendiri. Agar NOC kuat, juga harus menguasai hilir. Hilir pemasaran itu adalah nyawa perusahaan. Siapa pun yang menguasai pasar, sudah tentu akan hidup dalam waktu panjang. Tapi kekuatannya di upstream. Karena itu, saya berpikir Pertamina sebagai kepanjangan tangan negara yang mengelola upstream. Sedangkan di hilir, dikembangkan persaingan yang sehat.

 

Kunci dari persaingan di hilir adalah siapa yang menguasai infrastruktur dan paling efisien. Infrastruktur itu termasuk produksi kilang, jaringan distribusi transportasinya, hingga retailnya, yaitu SPBU. Tapi itu belum cukup. Dalam industri migas, hilir itu termasuk petrokimia yang marginnya lebih besar.

 

Bentuk persaingannya seperti apa?

 

Dalam persaingan, rumusnya apakah kita perang betul atau bisa bermitra. Posisi Pertamina di hilir adalah alat negara, sehingga kepentingan masyarakat harus dipikirkan. Masyarakat harus membeli produk ini dengan harga terjangkau, dalam tanda kutip semurah mungkin.

 

Kalau dilihat dalam penetapan harga, Pertamina secara mayoritas menguasai pasar tapi harganya selalu diatur di bawah harga dari pemain-pemain internasional. Tujuannya mengerem (harga), jangan sampai ini menjadi kolusi untuk membuat harga tinggi.

 

Banyak perusahan migas memangkas investasinya karena harga anjlok. Bagaimana dengan Pertamina?

 

Kebijakan banyak perusahaan adalah memotong opex (operating expense) dan capex (capital expenditure). Karena, mengapa harus berinvestasi untuk produksi, ketika harga (minyak) rendah. Biar saja disimpan dalam kondisi begini, tidak perlu dikuras, apalagi eksplorasi.

 

Situasi minyak sekarang kan kelebihan pasokan, kenapa harus mencari sumber baru? Biayanya keluar dulu dan belum tentu dapat (minyak) di saat kondisi kelebihan pasokan. Toh, tidak ke mana-mana.Dari sisi opex, Pertamina mengambil sikap yang sama. Kami memotong belanja operasional 30 persen dengan penurunan harga (minyak) yang 40 persen ini, dari US$ 50 ke US$ 30 per barel.

 

Apakah strategi Pertamina termasuk pengurangan karyawan?

 

Ruang pemangkasan biaya operasional masih cukup besar. Kami menyampaikan (kepada karyawan) target penurunan Opex 30 persen harus jalan. Karena itu, kami sekarang berencana menahan dulu tunjangan-tunjangan karyawan.

 

Kalau sampai akhir tahun Opex mampu turun 30 persen, baru kami bayarkan (tunjangan). Kalau tidak, terpaksa tidak dibayarkan. Jadi, kami lebih cenderung menurunkan kesejahteraan, meskipun itu sesuatu yang tidak enak. Kami ingin agar kawan-kawan sadar bahwa ini kondisi krisis. Kalau itu tidak mampu, untuk bisa bertahan, otomatis (pengurangan karyawan) tidak bisa dihindari.

 

Bagaimana dengan anggaran investasi?

 

Dalam kondisi ini (harga minyak rendah), perusahaan akan aman kalau belanja modal juga dipotong. Tetapi ada situasi anomali yang dihadapi Pertamina, yaitu di upstream produksi Pertamina sangat kecil, hanya 300 ribu bph. Sedangkan permintaan 1,6 juta bph dan kapasitas kilang 800 ribu bph. Ini celah yang luar biasa.

 

Karena itu, investasi di upstream untuk mempercepat recovery atau menambah kapasitas produksi merupakan sebuah kebutuhan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Jadi, di saat harga minyak rendah, justru inilah time for invest di upstream. Pasar Pertamina itu jelas sekali, kapasitas kilang yang kini 800 bph nantinya akan bertambah dengan dibangunnya kilang-kilang baru menjadi 2 juta bph pada 2025.

 

Ini kan pasar buat sektor hulu Pertamina. Ada market, kenapa nggak invest? Jangan kurangi investasi, khususnya ke arah upstream. Itu strategi Pertamina yang barangkali agak berbeda dari pemain lainnya.

 

Sudah ada daftar blok migas yang akan diambil alih?

 

Kami punya, tapi tidak berani meng-expose ke mana-mana. Secara garis beesarnya untuk membawa upstream-nya meningkat dari kapasitas sekarang menjadi di atas 2 juta bph di 2025.

 

Termasuk mendapatkan blok yang akan habis masa kontraknya?

 

Kami sudah memetakan blok-blok yang akan habis masa kontraknya sampai 2025-2030, termasuk Blok Masela yang kalau tidak salah sampai 2028. Ini harus kami siapkan. Berapa target dari expired block, dan dari ekspansi ke luar negeri. Di dalam negeri, kami ada expired block dan ada tambahan eksplorasi sendiri.

 

Pertamina menargetkan produksi minyak dan gas sebesar 1,9 juta barel setara minyak per hari pada 2025. Sedangkan saat ini baru sekitar 607 ribu. Selanjutnya akan ditambah dengan komposisi dari geothermal 45 ribu, EOR 64 ribu, domestic expired block 458 ribu, dan dari luar negeri 563 ribu. Kami sudah punya hitung-hitugan dan detailnya. Tinggal eksekusi ke depan.

 

Mengapa Pertamina juga membeli blok yang belum habis kontraknya, seperti Blok NSO di Aceh?

 

Kami melihat potensinya, bisa mendapatkan tambahan produksi saat ini. Lalu, ada minat dari yang punya blok. Di Blok NSO itu, ExxonMobil yang justru menawarkan (menjual kepemilikan hak kelolanya). Pertamina pun tidak perlu bayar. Karena memperhitungkan berbagai kompensasi, Pertamina malah mendapatkan (lebih), menerima bayaran.

 

Sebab, ada hitung-hitungan soal urusan ketenagakerjaan, dan ada beberapa yang harus ditanggung (ExxonMobil). Jadi, ExxonMobil tidak ingin repot-repot karena (kontraknya) tinggal beberapa tahun. Sedangkan Pertamina berminat, karena bisa diintegrasikan dengan fasilitas yang ada di sekitar itu.

 

Jadi, pertimbangan membeli sebelum kontrak habis tergantung kondisi masing-masing blok?

 

Case by case, apalagi sekarang harga minyak seperti ini. Kalau saat ini, kami cenderung tunggu saja sampai selesai. Kan tidak pergi ke mana-mana (bloknya).

 

Kenapa Pertamina juga meminati Blok Masela?

 

Kami melihat potensi Masela cukup bagus. Tapi kalau existing operator tidak lakukan divestasi, Pertamina tak bisa masuk sekarang. Bisa masuk saat akan ada perpanjangan masa kontrak. Pemerintah berhak mengatur lagi komposisi saham operator di situ. Pemerintah boleh meminta kepada KKKS (kontraktor kontrak kerjasama), oke saya perpanjang, tapi saya minta NOC saya ini mendapatkan porsi.

 

Jadi mau tunggu masuk sampai 2028?

 

Tergantung kesediaan Inpex (operator Blok Masela). Kami memang pernah sampaikan minat kami ke Inpex untuk masuk. Tetapi Inpex menjawab tidak melakukan divestasi. Pada dasarnya ada 10 persen bagian negara dan itu apakah (diberikan) kepada Pertamina atau BUMD, nanti kita lihat. Kalau itu ke BUMD, maka kami menunggu lagi. Kami minta yang menjadi bagian yang sudah ada.

 

Anda ikut menghadiri rapat kabinet terbatas soal Blok Masela, apa arahan dari Presiden untuk Pertamina?

 

Arahan Presiden adalah bagaimana Blok Masela itu dikelola dan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk negara, sebisa mungkin melibatkan Pertamina atau BUMD. BUMD sudah ter-cover dengan 10 persen (hak kelola atau participating interest). Kami juga sudah sampaikan kesediaan kepada pemerintah, kalau Pertamina bisa masuk, ya akan masuk.

 

Jika pengembangan Blok Masela diputuskan onshore, sementara Shell dan Inpex sebagai operator tidak bersedia, apakah Pertamina siap mengambil alih?

 

Nanti akan kami lihat, berapa Pertamina kuat take over itu. Kalau memang Pertamina kuatnya mengambil sebagian, maka tentu saja harus cari mitra.

 

Bagaimana kesiapan mengelola Blok Mahakam pasca 2017?

 

Saat ini proses masa transisi. Kami sudah membentuk Tim Pengambilalihan Pengelolaan Mahakam (TPPM). Yang belum jelas adalah apakah Total dan Inpex masih akan ikut memiliki hak kelola setelah 2017.

 

Dalam pertemuan terakhir, Total telah menyampaikan bahwa mereka perlu mengkaji persyaratan pengelolaan. Tapi, mereka sudah berkomitmen bahwa proses transisi harus berjalan sebaik-baiknya. Bagi kami, dalam proses transisi dua tahun ini, kami tidak menunggu-nunggu keputusan dari Total atau Inpex. Kami jalan terus.

 

Jika Total dan Inpex tidak ikut, Pertamina siap mengelola Mahakam sendirian?

 

Harus siap, karena itu kontrak Pertamina dan pemerintah. Sekarang ini tidak ada yang tidak jelas, sangat jelas untuk bisa menjalankan (Blok Mahakam) pada 2018.

 

Pertamina bisa mengajak mitra selain Total dan Inpex?

 

Izin yang diberikan pemerintah kepada Pertamina adalah boleh share down kepada BUMD dan exsisting operator. Tidak ada izin kepada yang lain. Karena itu, kami tidak menjalin pembicaraan dengan yang lain.

 

Soal hak kelola untuk daerah, apakah pendanaannya ditanggung Pertamina?

 

Kami barangkali diminta membantu BUMD agar tidak ditunggangi. Jangan sampai yang memperoleh nikmatnya bukan daerah, tapi investor. Karena itu, tentu ada persyaratan tentang kepemilikan BUMD itu, dan bagaimana Pertamina yang ditugaskan membawanya. Kondisi ini membuat Pertamina harus memikul beban itu, sebab kalau tidak (mau) maka BUMD dimanfaatkan orang lain.

 

Bagaimana kemampuan pendanaan Pertamina untuk membiayai berbagai investasi?

 

Saat ini kami memiliki kemampuan investasi sekitar US$ 5 miliar setahun. Sumber pendanaannya, sekitar 30-40 persen dari modal sendiri dan sisanya pinjaman. Kami bisa mem-plot bahwa target investasi upstream sekitar US$ 3 miliar per tahun. Sisanya untuk investasi hilir, seperti investasi kilang.

 

Seperti di upstream, di hilir kami juga menggandeng mitra. Misalnya, kami punya empat proyek RDMP (Refinery Development Master Plan atau peningkatan kemampuan) kilang, yaitu Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Dumai, yang masing-masing investasinya US$ 4-5 miliar.

 

Ke depan, kemampuan investasi Pertamina bisa jadi dobel kalau dapat melakukan leverage atas cadangan migas yang menjadi milik negara saat ini. Sebab, dengan cara ini, kemampuan pendanaan Pertamina bertambah besar. Ini tergantung pada kebijakan pemerintah ke depan.

 

Apakah ini berarti cadangan migas yang kini dipegang SKK Migas sebaiknya menjadi aset Pertamina?

 

Bagus sekali kalau memang Pertamina sebagai tangan negara dapat memanfaatkan (cadangan migas SKK Migas) untuk berinvestasi membangun kemandirian energi. Kemandirian energi dapat tercapai kalau 80-90 persen kebutuhan energi bisa dipenuhi oleh kemampuan sendiri, bisa dari kilang atau dari hulu migas.

 

Jadi, kalau memang semua sepakat ingin membangun kedaulatan dan kemandirian energi maka semestinya seluruh kekuatan dan aset, termasuk aset negara kelolaan SKK Migas, bisa diintegrasikan (ke Pertamina). Dengan begitu, aset tersebut dapat meningkatkan kemampuan pendanaan (Pertamina) untuk berinvestasi.

 

Bagaimana dengan opsi penjualan saham di bursa (IPO) sebagai sumber pendanaan Pertamina?

 

Penjualan obligasi sudah berjalan. Kalau IPO, kami mendorong anak-anak usaha. Pertamina jangan IPO karena masih dapat keistimewaan sebagai NOC (National Oil Company). Karena itu, anak perusahaan yang didorong (untuk IPO), seperti asuransi Tugu Mandiri, rumah sakit Pertamedika, Patra Jasa, dan drilling service (jasa pengeboran).

 

Selain itu, sekarang dalam proses menurunkan operasional shipping di induk Pertamina agar menjadi anak usaha untuk go public. Kemudian mendorong IPO Pertamina International EP (PIEP). Tahun ini,  Tugu Mandiri dan asuransi itu sudah harus IPO. Kemudian yang lain dalam persiapan, diharapkan bisa sesegera mungkin 1-2 tahun ke depan.

 

Jadi, untuk Pertamina holding tidak ada rencana IPO?

 

Sekarang tidak ada, karena itu bisa menciptakan perdebatan yang panjang. Lebih baik yang bawahnya saja. Dengan begitu, pemerintah masih bisa mengendalikan sepenuhnya Pertamina.

 

Bagaimana sebaiknya posisi SKK Migas dalam RUU Migas?

 

Keberadaan SKK Migas menurut Mahkamah Konstitusi sudah tidak boleh. Rekomendasinya (SKK Migas) harus menjadi badan usaha, sehingga muncul opsi apakah menjadi BUMN khusus atau bagian dari Pertamina. BUMN khusus tidak apa-apa, karena Pertamina tidak berpikir ingin menguasai apa saja.

 

Yang kami harapkan untuk kepentingan negara adalah bagimana agar cadangan migas dapat digunakan untuk pendanaan investasi yang lebih besar bagi negara ini ke depan. Penekanan usulan kami pada aset cadangan itu. Dengan memasukkan cadangan atau aset itu, tentu sangat bagus kalau BUMN khusus tersebut berada di Pertamina. Kalau terjadi, di saat itu Pertamina bisa mengalahkan Petronas.

 

Tentang wacana penghapusan Premium RON 88, bagaimana menurut Pertamina?

 

Memang ada ide menghilangkan RON 88 di pasar. Tapi, informasi itu tidak lengkap. Di Amerika saja, RON  87 masih ada di pasar. Pertamina menangani RON 88 karena ditentukan oleh pemerintah. Tahun lalu, kami rugi Rp 12 triliun dari bisnis RON 88. Jadi, Pertamina siap saja (kalau RON 88 dihapus).

 

Kapan sebaiknya penghapusan dilakukan?

 

Hal itu siap dilakukan kalau peningkatan kemampuan kilang-kilang rampung, kira-kira pada 2021. Tapi, apakah tidak sebaiknya kita memberikan pilihan lebih banyak kepada masyarakat?

 

Tentang harga jual BBM yang lebih mahal dibanding negara lain?

 

Kalau Indonesia seperti Malaysia, yang daerah distribusinya hanya Jawa dan kilangnya ada di Jawa, saya kira harganya (BBM) akan lebih murah. Hal lain yang perlu diperhatikan juga soal persaingan penjualan retail di masa depan.

 

Kami mengharapkan perlakuan yang adil. Pertamina harus memasok sampai Papua dan pelosok-pelosok daerah dengan harga yang sama. Sedangkan pesaing, seperti Shell, boleh (hanya) buka di Jakarta.

 

Ini sebenarnya kan tidak fair. Kalau tuntutannya seperti Malaysia, barangkali bisa saja dibagi per area, kami menjual harga di Jawa jauh lebih murah dibandingkan Papua. Tapi, itu akan mengundang disintegrasi Indonesia yang satu ini.

 

Sumber : Katadata.co.id

Share this post