Jakarta - Banyak pihak menganggap kenaikan harga Elpiji 12 kg merupakan akibat dari monopoli bisnis Pertamina. Menurut mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu, para pengusaha enggan bisnis LPG karena harganya tidak ekonomis sehingga potensial merugi. “Mereka tidak berminat karena harus berhadapan dengan konsumen yang terbiasa membeli LPG dengan harga murah,” jelasnya.
Padahal harga pokok perolehan Elpiji 85% diiisi komponen bahan baku yang mengacu pada harga gas global (CP Aramco) yang dihitung dalam mata uang dolar AS. CP Aramco adalah patokan harga seperti MOPS atau Mean of Platts Singapore, yang sering digunakan di kawasan Asia Pasifik. Rata-rata CP Aramco selama tahun 2013 adalah 873 dolar AS per Metric Ton. Sehingga harga LPG secara keekonomiannya seharusnya sekitar Rp10.000 per kg.
Said menyatakan saat ia menjabat sebagai Sekretaris Kementerian BUMN, Pertamina mengajukan kenaikan harga Elpiji 12 Kg pada 2008. Namun saat itu, pemerintah tidak merestui dengan alasan terjadi krisis keuangan. “Selama lima tahun terakhir terjadi dua kali krisis keuangan. Untuk krisis terakhir, kurs rupiah terhadap dolar AS melemah 40% dan harga gas impor sudah naik 200%. Jika diakumulasi, terjadi kenaikan 240%,” paparnya.
“DPR dan pemerintah sudah sepakat, jangan disubsidi, sudah biarkan Pertamina saja yang tanggung. Saya bilang bahaya! Ini bahaya, ini melanggar Undang-Undang! Tahun 2009 diusulkan lagi, ditolak lagi, diusulkan lagi ditolak lagi,” tegasnya.
Selain itu, kenaikan harga itu patut dilakukan karena konsumen Elpiji 12kg mencakup masyarakat menengah ke atas, perusahaan asing, restoran, cafe dan hotel. “Kan yang menikmati rumah tangga mampu, pemilik café di Kemang. Mereka golongan mampu yang jika datang ke mall, kasih valley parking itu 35 ribu kan? Kok ini naik Rp3.500 per kg marah-marah,”tambahnya.•SAHRUL