BOJONEGORO - Mengawali tahun 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dinakhodai oleh Ignasius Jonan berkesempatan melakukan kunjungan kerja ke Lapangan Banyu Urip (19-20/01), setelah sebelumnya menghadiri acara di STEM Akamigas.
Rombongan Jonan didampingi oleh para petinggi dari industri migas yang beroperasi diwilayah Bojonegoro dan Muspida Bojonegoro, antara lain Bupati Bojonegoro Suyoto, beserta jajarannya, Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu Adriansyah, Presiden ExxonMobil Indonesia Daniel Wieczynski, dan pejabat-pejabat dari lembaga/institusi (SKKMigas dan KKKS) yang terkait dengan industri tersebut.
Dalam kunjungannya, Jonan menegaskan produksi minyak nasional harus dapat ditingkatkan melebihi target lifting minyak tahun 2017 yang telah ditetapkan. Pemerintah sendiri menginginkan produksi minyak yang lebih besar, agar performa lifting lebih bagus. Target lifting minyak di tahun 2017 sesuai APBN adalah sebesar 815.000 barrel oil per day (BOPD), namun Kementerian ESDM dan SKKMigas, lanjut Menteri ESDM, memiliki target tersendiri. “Jangan 815.000 BOPD, paling kurang 825.000 BOPD,” tegasnya.
Untuk meningkatkan produksi minyak tersebut, SKKMigas dan KKKS telah menyampaikan dokumen perubahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mendapatkan persetujuan. Persetujuan yang diminta adalah untuk dapat berproduksi mencapai 200.000 BOPD dari sebelumnya yang 185.000 BOPD.
Demi menambah produksi minyak nasional Indonesia, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan membangun beberapa kilang minyak baru, baik memindahkan kilang minyak dari luar negeri maupun membangun grass root refinery.
“Diusahakan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri dapat diolah dari minyak mentah di Indonesia, bukan hanya minyak mentah yang berasal dari pengeboran di Indonesia ya, impor boleh, tetapi impor minyak mentah. Minyak jadinya (diolah) di sini. Kalau kita mau membangun cadangan nasional atau cadangan strategis dalam bentuknya BBM, bukan minyak mentah,” ujar Jonan.
Pada kesempatan tersebut, Jonan juga mengemukakan keuntungan Production Sharing Contract (PSC) wilayah kerja migas dengan skema gross split. Dengan gross split, sebut Jonan, pemerintah tidak lagi perlu menanggung cost recovery. “Sekarang kita bagi hasil di awal, biaya produksi ya terserah kontraktor,” tuturnya. Dengan bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor yang sudah ditentukan sejak awal, imbuh Jonan, pendapatan bersih negara bisa lebih baik.
Skema gross split ini pun hanya diterapkan untuk kontrak yang baru. “Untuk kontrak lama masih memakai skema cost recovery. Untuk kontrak yang perpanjangan, kontraknya boleh memilih menggunakan skema gross split atau tetap cost recovery,” sambungnya. Selain itu, dengan gross split, kerja SKKMigas sebagai badan pelaksana kegiatan hulu migas akan lebih fokus kepada lifting dan keselamatan kerja. “Kalau dengan cost recovery kan fokusnya hanya ke biaya,” pungkas Jonan.•WP/RY