Legal Preventif Program : Aspek Hukum Persaingan Usaha untuk Pengadaan Barang dan Jasa BUMN

JAKARTA - Hukum dan kebijakan persaingan diterapkan terhadap seluruh sektor dan seluruh pelaku usaha, baik dalam perdagangan barang dan jasa. Seluruh sektor dan seluruh pelaku usaha, baik swasta maupun publik (BUMN dan BUMD) mendapat perlakuan yang sama dalam hukum persaingan usaha.

Pasal 51 UU No. 5/1999 mengakui kewenangan negara dalam memberikan hak monopoli kepada BUMN dan atau badan/ lembaga lembaga yang dibentuk/ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan monopoli atas barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara.

Karena itu, Chief Legal Counsel & Compliance Pertamina Genades Panjaitan merasakan pentingnya bagi pekerja Pertamina untuk mendapatkan pemahaman yang konkrit terhadap aspek hukum persaingan usaha dalam perspektif Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait pengadaaan barang dan jasa di BUMN.

“Inilah saatnya bagi kita untuk mendapatkan pencerahan langsung dari KPPU dan akademisi, terutama dengan adanya aturan dari Kementerian BUMN bahwa pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan cara sinergi antar BUMN dan anak perusahaan,” ucap Genades saat membuka acara Legal Preventif Program di Lantai 21 Ruang Pertamax, Kantor Pusat Pertamina, Senin (27/11/2017).

Genades mengakui banyaknya perkara dan laporan karena Pertamina dianggap melakukan praktik-praktik monopoli. Padahal secara peraturan perundang-undangan, Pertamina diperbolehkan melakukan monopoli karena Pertamina sebagai BUMN melakukan kegiatan untuk hajat hidup orang banyak. Tapi dalam realitasnya, masih ada pelaku usaha yang melaporkan Pertamina, termasuk juga anak-anak perusahaan Pertamina.

“Kita akan mengkongkritkan mana yang boleh atau tidak. Kita akan sosialisasikan, terutama pada saat kita melakukan akuisisi, pengadaan barang dan jasa serta pemilihan partner sehingga tidak termasuk kategori yang melanggar monopoli,” lanjut Genades.

Komisioner KPPU, Dr. Sukarmi, S.H., M.H mengatakan ada tiga prinsip dalam tender. Pertama, terbuka diartikan transparan dan diumumkan secara luas. Kedua, non-diskriminasi dan dapat diikuti oleh semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama. Ketiga, tidak memuat persyaratan dan spesifikasi teknis atau merk yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu.

Sebagaimana Pasal 22 UU No.5/ 1999 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Tujuan persaingan usaha menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisienasi ekonomi nasional sebagai upaya menyejahterakan rakyat, mencegah adanya praktik monopoli. "Karena itulah munculnya undang-undang tersebut memberikan kesempatan berusaha yang sama dan menciptakan sebuah efisiensi," ujar Sukarmi.

Ia juga menjelaskan manfaat dari persaingan usaha ini adalah adanya inovasi, keberagaman produk, harga sesuai dengna kualitas konsumen sebagai price taker dan kebutuhan konsumen terpenuhi.

Menurutnya dampak persekongkolan tender maka konsumen atau pemberi kerja membayar dengan harga yang lebih mahal, barang/ jasa diperoleh (mutu, jumlah, waktu, nilai) lebih rendah, hambatan pasar bagi peserta potensial, dan nilai proyek menjadi lebih tinggi.

Dalam kesempatan yang sama dipaparkan pengadaan barang dan jasa BUMN dari sisi akedemis oleh Dosen Fakultas Hukum UI, Dr. Teddy Anggoro. Ia menjelaskan, hasil riset yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia dari tahun 2000 – 2017 menyebutkan, sebanyak 64% perkara yang ditangani KPPU terkait dengan tender, 72% dari BUMN/Pemerintah dan 28% dari swasta.

"Kita bersaing karena kita ingin mencari pemenang. Pastikan barang atau jasa merupakan yang terbaik kualitasnya dan termurah.  Pastikan tidak ada opportunity lost,” tutupnya.*(Irli / Toms Adityo)

Share this post