Legal Preventive Program: Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

Legal Preventive Program: Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

6-LCC2JAKARTA – Pasal 31 Un­dang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Ben­­dera, Bahasa, dan Lam­bang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009) yang mewajibkan penggunaan Bahasa In­do­nesia dalam semua nota ke­sepahaman atau perjanjian masih menuai kontroversi.

 

Untuk itulah kalangan profesi hukum dan dunia usa­ha merasa pentingnya mendapatkan pemahaman yang baik mengenai per­ma­salahan tersebut. Fungsi Legal Counsel & Compliance (LCC) Pertamina melangsungkan Legal Preventive Program yang membahas lebih lanjut  mengenai Penggunaan Ba­hasa Indonesia dalam Per­janjian Pertamina berda­sarkan  UU No. 24/2009.  

 

Pemaparan tersebut disampaikan oleh dosen dari Universitas Indonesia, Miftahul Huda dan praktisi hukum dari Hanafiah Pong­gawa & Partners, Fa­bian Buddy Pascoal di ruang Mezzanine Kantor Pusat Pertamina, Kamis (24/11/2016). Turut hadir Chief Legal Counsel & Com­­pliance Pertamina, Ge­na­des Panjaitan, jajaran tim ma­najemen Fungsi LCC, serta pekerja Pertamina dan anak perusahaan.

 

“Ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 menyatakan bahwa ayat (1): Bahasa In­donesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang meli­batkan lembaga negara, ins­tansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia dan ayat (2): Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Namun masih banyak kontrak-kon­trak Pertamina yang meng­gunakan bahasa asing. Ka­rena itu penting bagi kita untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam pembuatan kontrak-kontrak,” ungkap Ge­nades.

 

Miftahul Huda menyam­paikan komentar bahwa Pa­sal 31 UU No. 24/2009 adalah wajib tanpa ada sank­si, sehingga merupakan di­rectory provision. Ke­tentuan bahasa dalam Pa­sal tersebut tersebut tidak dapat dikualifikasi sebagai objek perjanjian yang tun­duk pada ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata. Kendati demikian, tunduk dan me­matuhi Pasal tersebut lebih protektif.

 

Sementara itu, Fabian Buddy memberikan contoh putusan pengadilan yang menyatakan batal demi hukum perjanjian yang di­tandatangani antara peru­sahaan Indonesia dan peru­sahaan asing.  Hal ter­sebut disebabkan karena ketiadaan perjanjian dalam versi Bahasa Indonesia bertentangan dengan UU No. 24/2009, sehingga me­­rupakan perjanjian terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang (Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata), tidak penuhi salah satu esensialia syarat objektif perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata.

 

Untuk itu, pemahaman yang baik bagi Pertamina untuk lebih memperhatikan Pasal 31 UU No. 24/2009 adalah hal yang penting agar Pertamina terhindar dari persoalan hukum dalam pembuatan kontrak kerja sama bisnis dengan pihak asing di kemudian hari.•IRLI/LCC

Share this post