Modifikasi Capping BOP, Selamatkan Aset US$ 114.330.538

Modifikasi Capping BOP, Selamatkan Aset US$ 114.330.538 (1)

20-Foto 2 Modifikasi Hulu Lais _resizeJakarta -  Inovasi menjadi point utama dalam setiap rancangan strategi PT Pertamina (Persero) agar mampu bersaing, serta tetap survive and sustainable growth. Hal ini, semakin digiatkan karena terpicu oleh situasi krisis, akibat jatuhnya harga minyak mentah dunia yang hingga saat ini belum mampu dikalkulasi secara jitu kapan akan berakhir. Direktur Utama Pertamina, Massa Manik ketika memberikan sambutan pada pembukaan Forum Sharing Teknologi Hulu (FSTH) ke-4 yang berlangsung di Makassar, 25 s/d 28 Juli 2017 lalu, menegaskan “Pertamina merupakan BUMN bidang energi yang diamanahi pemerintah untuk bisa mewujudkan ketahanan energi nasional, maka untuk dapat terus meningkatkan produksi dibutuhkan kolaborasi antara teknologi dan inovasi yang akan menghasilkan nilai tambah baik dari angka produksi maupun pendapatan perusahaan.”

 

Pada kesempatan yang sama, Direktur Hulu, Syamsu Alam juga mengingatkan  peserta, bahwa tantangan yang dihadapi Pertamina tidak ringan, terlebih Pertamina sudah berkomitmen untuk menjadi perusahaan kelas dunia. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuang budaya kerja at any cost. “Inovasi dan effisiensi disegala lini operasi harus menjadi budaya kerja baru di lingkungan Pertamina, baik tataran kantor pusat maupun di asset-aset anak perusahaan rumpun bisnis hulu,” ucap Alam.

 

Pesan jajaran management direspon dengan baik oleh setiap anak perusahaan, seperti PT Pertamina Geothermal Energi (PGE). Selaku anak perusahan yang bertanggung jawab dalam mengelola potensi energi panas bumi di Indonesia, PGE selalu memacu diri untuk mencapai target produksi uap dan listrik yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi saat ini, pemerintah tengah mengakselerasi proyek-proyek pengembangan panas bumi di seluruh nusantara dengan target penambahan kapasitas listrik sebesar 7.000 megawatt (MW) per tahun. Sebagai salah satu agen pemerintah, tentu PGE berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan program tersebut, namun dalam prosesnya berbagai kendala harus dihadapi oleh PGE. Salah satunya adalah bencana longsor yang menimpa proyek panas bumi Hulu Lais di Bengkulu 28 April 2016. Akibat bencana tersebut, terjadi blowout sumur di cluster A karena patahnya tiga kepala sumur (HLS-A/1, HLS-A/2, dan HLS-A/3). “Saat bencana tersebut terjadi, kami sedang melakukan uji vertical,” jelas Apriyansah Toni Assistant Mgr. Drilling Operation Area 1 PGE (23/8).

 

Lebih jauh Apriyansah menjelaskan dampak lanjutan dari bencana ini di antaranya: (1) Lingkungan: semburan uap dan air panas dari sumur mencapai ketinggian hingga 50 meter sehingga menyebabkan mati dan rusaknya tanaman yang ada disekitar cluster A, serta mencemari sungai. Ditambah, tingkat kebisingan yang sangat tinggi yang mecapai 132 dB didekat cluster A memberikan efek yang buruk terhadap aktivitas warga di sekitar lapangan. (2) Sosial: warga melakukan demo meminta ganti rugi dan kompensasi serta mendesak perusahaan agar segera menghentikan blowout. Hal ini akan merusak citra dan reputasi perusahaan. (3) Ekonomi: banyaknya biaya yang dibutuhkan guna perbaikan infrastruktur dan surface facility serta ganti rugi kerusakan tanaman penduduk. Selain itu, potensi kerugian akan timbul juga manakala jadwal Commercial Operation Date (COD) power plant Hululais-A pada 31 Desember 2018 mengalami kemunduran.

 

Menyadari besarnya potensi kerugian yang akan dialami perusahaan, Apriyansah membentuk tim guna mencari solusi terbaik untuk menghentikan blowout tersebut. “Blowout pada sumur panas bumi jarang terjadi, sehingga kami sedikit kesulitan mencari metode penanggulangan yang pas. Pernah terjadi di Jepang dan Filipina namun mereka menggunakan metode relief well dengan biaya yang sangat tinggi serta waktu yang lama,” kata Apriyansah. Alternatif, menggunakan tenaga ahli dari luar juga menjadi pertimbangan, akan tetapi besarnya cost yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan kinerja yang diberikan. Maka, tim memutuskan untuk menciptakan sendiri inovasi yang lebih hemat, cepat, dan efisien. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan membuat simulasi dari metode yang dirasa paling tepat, berdasarkan evaluasi dalam menangani blowout dari dua sumur lainnya pada Cluster-A, yakni: HLS-A/3 dan HLS-A/1. Kemudian, tim melakukan improvisasi dan inovasi pada sistem capping Blowout Operation Preventer (BOP) menggunakan peralatan sliding dan modifikasi casing head well di sumur HLS-A/2.

 

Peralatan sliding BOP ini merupakan sejenis guide rail BOP yang didesain guna menyederhanakan cara penginstallan BOP tersebut ke kepala sumur yang mengalami blowout dengan sistem geser. Capping tool ini dirancang menggunakan modifikasi BOP 21-1/4” x 2000 psi serta double ram. Pada bagian atas dari BOP yang dimodifikasi terdapat diverter line, yang dibuat sedemikian rupa dengan potongan casing 13-3/8”, sehingga mampu mengarahkan semburan ke samping (bukan tegak ke atas). Sedangkan pada bagian bawah dari BOP 21-1/4” dirangkai dengan modifikasi 20-3/4” x 3000 psi, kedua bagian ini dipisahkan oleh BOP slider guide.

 

Penanganan blowout dengan peralatan capping slider di HLS-A/2 sangat efektif, terbukti dari  waktu pengerjaan hanya 3 menit, sangat singkat sekali dibanding waktu yang dibutuhkan pada HLS-A/1 yaitu selama 17.5 jam. “Dengan inovasi ini kami berhasil menyelamatkan kapasitas sumur 10 MW dan menyelamatkan biaya investasi sumur sebesar US$ 28.288.932. Lebih jauh lagi, menghindari dihentikannya Project Geothermal Hululais dengan nilai aset US$ 114.330.538. Di samping itu, lewat inovasi yang kami lakukan tersebut, kami berhasil meraih penghargaan best innovation pada ajang FSTH 4,” tutup Apriyan­­sah mewartakan rasa syukurnya.•DIT. HULU

Share this post