Keberhasilan Mencegah Losses Adalah Faktor Manusia

Pemberdayaan Surveyor : Mencegah Losses Kembali Molor

Dilihat secara kasat mata, dalam soal angkutan minyak di laut dan di sungai itu hanya ada tiga unsur yang saling berkaitan. Unsur pertama, adalah yang punya minyak atau yang memasak minyak, dalam hal ini disebut Kilang atau RU-II sampai RU-VII di pelabuhan muat (L/P). Kemudian yang memasak minyak menitipkan kepada unsur kedua yang bernama Kapal untuk mengangkut minyak ke terminal tujuan. Dan, unsur ketiga adalah pelabuhan tempat minyak tersebut dibongkar (D/P) yang disebut Terminal BBM di MOR-I sampai MOR-VIII.

 

Kalau dalam tata kelola minyak produk seperti di atas itu gambarannya, maka  satu lagi siklus yang hampir sama unsurnya adalah tata kelola minyak mentah (crude). Unsur pertamanya (L/P) adalah terminal lepas pantai (SKK Migas), kemudian unsur ke duanya bernama Kapal, dan unsur ketiganya adalah Kilang Minyak (D/P).

 

Bukan maksud kami untuk menyederhanakan permasalahan, bila dari sudut losses tiga unsur ini dianggap sangat berperan dalam mencegah terjadinya “losses berkepanjangan” dalam masalah tata kelola arus minyak. Istilah ini dimaksudkan sebagai suatu kehilangan berantai terjadi mulai dari minyak itu dibor dari perut bumi (Hulu) sampai minyak itu didistribusikan (ke Hilir) melalui laut dan sungai sebelum diserah terimakan kepada konsumennya.

 

Selama tiga bulan terakhir aktivitas tim PTKAM Korporat menjabarkan breakthrough project Direksi dalam melakukan pembenahan tata kelola arus minyak di Pertamina, dengan op­timis kami katakan di sini bahwa unsur Kilang, Kapal dan TBBM adalah tiga kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam mencegah losses.

 

Kalau saja losses (R1) yang terjadi di Kilang ketika minyak dimuat ke dalam kapal bisa dikontrol ketat oleh petugas yang berkuasa di Kilang, tentu losses di ambang toleransi bisa ditekan sedemikian rupa. Begitu pula di Kapal sebagai angkutan air. Kalau saja losses (R2) yang terjadi di kapal ketika minyak diangkut menuju TBBM bisa dikontrol ketat oleh petugas yang berkuasa di atas kapal, tentu losses di ambang toleransi bisa ditekan sedemikian rupa.

 

Sementara jika losses (R3) yang terjadi ketika minyak dipindahkan (dipompa) ke  TBBM maupun kilang bisa diawasi secara ketat oleh petugas darat, tentu losses di ambang toleransi bisa ditekan sedemikian rupa sehingga discrepancy (R4) tidak melebihi ambang toleransi dapat terpenuhi.

 

Sepertinya yang digambarkan di atas begitu indah dan lancar saja ketika diterapkan dalam aktivitas. “Unsur penunjang” lainnya (alat ukur, Surveyor, dan Loading Master) seakan diabaikan.

 

Padahal, sebagaimana yang telah kami tulis dalam tulisan yang terdahulu (lihat : Energia Weekly No. 29, 20 Juli 2015, halaman 18), Peningkatan Kepedulian Adalah Kata Kunci Ke­berhasilan”. Jadi, “unsur penunjang” adalah alat bantu yang seharusnya dapat dikendalikan oleh yang punya minyak (yaitu : Pertamina). Kenapa demikian? Tentu saja karena alat ukur yang bernama meteran atau ATG itu adalah benda mati yang dioperasikan dan dipergunakan oleh manusia. Sedangkan “unsur penunjang” yang bernama Surveyor dan Loading Master adalah anak manusia yang digaji dan “meneken perjanjian” setia sampai hari akhir pada Pertamina…!!

 

Kalau sempat terjadi di lapangan terdapat  Surveyor yang dibayar Pertamina (dan “meneken perjanjian” setia sampai hari akhir pada Pertamina) bisa mengatur Loading Master bahkan mengendalikan “orang Pertamina” di RU dan MOR, tentu suatu hal yang amat sangat luar biasa aneh, bukan?

 

Unsur Kilang (RU-II s/d RU-VII) yang diberi amanah oleh Pertamina sebagai pemasak minyak harus dapat melaksanakan tugas sesuai ketetapan perusahaan. Discrepancy (R1) yang tidak boleh melebihi 0,3% adalah standar mutu dan standar baku yang mesti diwujudkan setiap melaksanakan pemindahan minyak dari Kilang ke Kapal.

 

Unsur Kapal (milik dan sewa) sebagai pengangkut minyak tidak akan mengenal istilah tidak mampu dalam menekan discrepancy (R2)  di bawah 0,1%. Bila toleransi losses ini me­lewati ambang batas, tentu sanksi diklaim atau dipotong harga sewa kapalnya, adalah suatu risiko hasil kerja yang tidak bisa ditawar-tawar.

 

Unsur TBBM (MOR-I s/d MOR-VIII) sebagai penerima minyak dari kapal, kemudian mendistribusikan minyak tersebut kepada konsumen, tentu sudah paham akan ketentuan Dis­crepancy (R3) di terminal BBM yang tidak boleh melebihi 0,3% adalah standar mutu dan standar baku yang mesti diwujudkan. Begitu pula ketika menghitung jumlah keseluruhan minyak yang telah masuk ke dalam tangki penampungan di TBBM. Discrepancy (R4) maksimum 0,3% dibandingkan dengan B/L yang berasal dari pelabuhan muat (L/P) adalah “angka mati” yang mesti dipatuhi oleh seluruh pelaku aktivitas serah terima minyak di TBBM.

Share this post