JAKARTA - Di balik tabir kesulitan selalu ada jalan. Ketika keuletan berkelindan dengan kearifan mampu menyelami permasalahan maka solusipun menjadi keniscayaan. Pengalaman itulah yang dengan bijak ditangkap oleh para engineer muda PT Pertamina EP Cepu (PEPC). Di tengah terpuruknya harga minyak dunia sejak medio 2014 lalu, yang berdampak pada kebijakan cost efficient and cost effectiveness di segala lini perusahaan, baik operasi maupun investasi. Menyikapi kondisi yang dipicu penerapan kebijakan tersebut, lahirlah berbagai inovasi yang berhasil diciptakan para engineer muda Pertamina. Karya-karya inovasi dimaksud merupakan bagian dari solusi berbagai permasalahan operasi. Dampaknya, langsung terlihat dalam penghematan biaya operasi yang cukup signifikan.
Contohnya, apa yang dilakukan oleh para engineer PEPC dalam menghadapi kehilangan total lumpur pengeboran (total loss circulation) ketika operasi pengeboran pengembangan (development drilling) di Lapangan Banyu Urip, Bojonegoro (Jawa Timur). Total loss circulation adalah hilangnya seluruh lumpur pengeboran yang masuk kedalam formasi ketika operasi pengeboran sedang berlangsung. Faktor penyebab loss circulation adalah karena trayek pengeboran melewati formasi batuan yang sangat porous. Ataupun, adanya celah terbuka yang cukup besar di dalam lubang bor, sehingga semua volume lumpur lari terserap masuk kedalam formasi. Celah-celah tersebut disebabkan adanya cavernour, fracture, atau tekanan hidrostatik akibat berat lumpur pengeboran lebih besar daripada tekanan formasi.
Permasalahan tersebut, menurut Firman Auliya, Petrophysical Specialist PEPC semula ditanggulangi dengan cara menyumbat zona loss menggunkan loss circulation material (LCM), tidak berhasil. Langkah selanjutnya adalah dengan memompakan DOB2C (Diesel Oil Bentonite), dengan berbagai macam kombinasi komposisi, namun tetap tidak dapat menutup pori zona loss. Sebab, formasi yang dihadapi adalah batuan karbonat dengan bentuk butir yang sangat heterogen. Apabila permasalahan ini tidak tertangani dengan baik maka berpotensi mengakibatkan berbagai kerugian seperti mundurnya waktu operasi pengeboran, pemakaian matabor menjadi boros, dan yang lebih fatal dapat menimbulkan semburan liar (blowout). Kondisi seperti itu, tentu harus dicegah. Karena, akan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan biaya operasi pengeboran secara keseluruhan. Atau, justru lebih parah dan berbahaya sekali manakala sampai terjadi semburan liar. “Hal ini yang kami hindari karena tidak sesuai dengan prinsip cost effective and efficient yang digalakkan perusahaan,” ungkap Firman.
Untuk itu, Firman bersama para engineer PEPC yang tergabung dalam tim kerja PC Prove Amada Reborn mencari alternatif metode lain sebagai solusi untuk mengatasi masalah total loss circulation di Lapangan Banyu Urip. Setelah mengevaluasi sejarah penanggulangan loss circulation sumur-sumur pengeboran di Banyu Urip, terutama sumur-sumur eksplorasi, pilihannya jatuh pada metode Pressurized Mud Cap Drilling (PMCD). Metode ini merupakan suatu cara untuk mengatasi hilang lumpur total karena tidak dapat ditanggulangi dengan berbagai macam chemical.
Menurut Firman, metode PMCD menggunakan closed sistem, dimana lumpur pengeboran dipompakan kedalam lubang sumur melalui dua sisi, yaitu dari rangkaian pipa pengeboran, dan dari annulus. Dengan tetap melakukan pemompaan lumpur pengeboran yang sesuai drilling program, maka kondisi formasi pun tidak rusak, sehingga kualitas reservoir tetap terjaga. “Dalam realisasi di delapan sumur yang mengimplementasikan metode PMCD hasilnya, perusahaan bisa menekan biaya pengeboran hingga $ 26,2 juta serta penghematan waktu project selama lima bulan,” pungkas Firman.•DIT. HULU