MEDAN - Sejak 2002 Indonesia telah berubah dari eksportir menjadi importir minyak. Jika tidak ada perbaikan tata kelola migas secara signifikan, maka tidak dapat dihindari Indonesia pada 2019 akan juga mengimpor gas.
Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam Talkshow bertema “Ketahanan dan Kemandirian Energi Untuk Negeri” yang digelar dalam rangka “Pertamina Goes To Campus (PGTC)” di Auditorium Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, pada (22/2).
Hadir punya sebagai pembicara dalam kesempatan itu Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu, Corporate Secretary Pertamina Wisnuntoro, dan pakar komunikasi Effendi Gazali. Sebagai moderator, budayawan Butet Kertarejasa. Acara PGTC dihadiri sekitar 1.300 mahasiswa yang memenuhi Auditorium USU.
Marwan Batubara menuturkan, Indonesia saat ini belum bisa memiliki ketahanan dan kemandirian energy karena ada yang salah dalam pengelolaan sumber daya energinya. Antara lain pengelolaan migas yang seharusnya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ternyata saat ini diserahkan kepada Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK) Migas.
“Padahal menurut pasal 33 UUD 1945 migas harusnya dikuasai Negara dan pengelolaannya dilaksanakan oleh BUMN yakni Pertamina. Namun Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001 tidak mengaturnya demikian. Pengelolaannya malah diserahkan ke SKK Migas sehingga tidak bisa dikelola secara optimal dan jelas inkonstitusional,” ujar Marwan.
Hal senada diungkapkan Gus Irawan Pasaribu, yang menegaskan bahwa DPR tidak akan tinggal diam melihat keterpurukan pengelolaan energi Indonesia. Menurutnya, Komisi VII DPR yang dipimpinnya sedang melaksanakan revisi UU Migas Nomor 22 tahun 2001, guna mengembalikan kedaulatan energi Indonesia. Hal itu menjadi bagian dari enam program aksi transformasi bangsa yang dijalankannya. “Jelas untuk DPR periode ini revisi UU Migas harus terjadi,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu Corporate Secretary Pertamina Wisnuntoro mengakui saat ini Pertamina hanya mengelola 20 persen dari total sumber daya alam migas Indonesia. Selebihnya dikelola perusahaan asing dan swasta. Hal ini jelas berbeda dengan negara lain seperti Saudi Arabia yang mengelola 99 persen sumber daya alam migasnya, Tiongkok yang 80 persennya dikelola sendiri, dan Brazil yang mengelola sendiri 85 persen sumber daya alam migasnya.
“Kami berharap semua blok migas yang habis kontraknya dengan pihak asing, dikembalikan ke Pertamina. Selain itu, Pertamina juga ekspansi ke lapangan migas di luar negeri. Di antaranya yang sudah berjalan saat ini di Aljazair dan di Malaysia,” terang Wisnuntoro.
Selain itu, Pertamina sedang meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi di sisi hilir. Antara lain lewat proyek peningkatan kapasitas kilang minyak Pertamina, dan pembangunan kilang baru. Dengan begitu, ke depan kapasitas produksi BBM Pertamina akan meningkat dari 1 juta barel per hari, menjadi 2,3 juta barel minyak per hari. “Kita juga melakukan perbaikan infrastruktur dan penambahan fasilitas distribusi,” ucap Wisnuntoro.
Pada kesempatan yang sama, Effendi Gazali mengajak sedikitnya 1.300 mahasiswa yang hadir dalam PGTC di USU Medan, untuk bergerak menjadi agen perubahan guna terciptanya tata kelola yang baik di sektor migas Indonesia.
Saat ini, lanjut Effendi, mahasiswa sangat akrab dengan gadget dan media sosial. Maka gunakanlah media sosial untuk mengingatkan penyelenggara Negara, utamanya pemerintah, agar tidak lupa pada amanat UUD 1945 tentang pengelolaan energi. “Di situlah peran mahasiswa. Ingatkan pemerintah lewat media sosial, agar kembali pada cita kemandirian dan kedaulatan energi,” tukasnya.
Para mahasiswa sangat antusias mengikuti acara PGTC hingga sore hari. Selain talkshow, acara juga diisi dengan hiburan stand up comedy serta pameran yang berada di area auditorium USU.•MOR I