JAKARTA - PT Pertamina (Persero) meraup nilai tambah senilai US$174,11 juta per bulan dari berbagai program inisiatif bisnis pengolahan dalam kurun waktu 2015-2016.
Di hadapan insan pers nasional, Direktur Pengolahan Pertamina Rachmad Hardadi mengungkapkan, pengoperasian Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC)Cilacap dan Kilang TPPI memberikan kontribusi terbesar dengan nilai US$131 juta per bulan. Nilai tambah tersebut bersumber dari pengurangan impor Premium sekitar 30-42% dan pengurangan impor Diesel sebanyak 44%.
Nilai tambah signifikan juga bersumber dari tidak adanya lagi impor HOMC dari semula sekitar 400 ribu barel per bulan. Nilai tambah dari penghilangan impor HOMC tersebut mencapai sekitar US$15 juta per bulan. Di sisi lain, Pertamina telah menghentikan ekspor LSWR dan Naphta untuk diolah menjadi produk bernilai lebih tinggi di kilang dalam negeri, termasuk di antaranya memproduksi HOMC, Solar, dan Propylene.
“Sebelumnya, kelebihan Naphta diekspor dengan nilai yang rendah, yaitu MOPS–US$6 per barel dengan volume ekspor mencapai 400-500 ribu barel per bulan. Begitu kami hentikan ekspor dan kami proses di dalam negeri, harga Naphta langsung melonjak menjadi MOPS+US$3,3 per barel sehingga seolah-olah kami mendapatkan nilai tambah sebesar US$9,3 per barel dari Naphta saja,” kata Hardadi, di Lantai Ground, Kantor Pusat Pertamina, (28/6).
Selain itu, dia mengatakan sentralisasi pengadaan melalui manajemen kategori teroptimasi menghasilkan penghematan sebesar US$10,8 juta per bulan. Pertamina, katanya, telah melakukan ekspor kerosene menyusul kesuksesan program konversi Minyak Tanah ke Elpiji dengan nilai tambah bagi perusahaan sebesar US$7,1 juta per bulan.
“Kami juga memproduksi Pertalite, Pertamax Series, dan Dexlite dengan nilai tambah sekitar US$3,12 juta per bulan,” ungkapnya.
Selain memberikan nilai tambah melalui inisiatif-inisiatif, lanjut Hardadi, Pertamina juga berhasil melakukan akselerasi berbagai proyek, seperti RFCC Cilacap dari semula diperkirakan baru beroperasi pada April 2016 menjadi September 2015, dan PLBC Cilacap yang telah dua tahun tertunda, proses lelang tuntas dalam waktu 4 bulan dengan pengurangan biaya 16% dari estimasi awal. Pertamina juga melakukan percepatan untuk reaktivasi unit proses calciner di Kilang Dumai yang sudah 22 tahun berhenti operasi.
Pertamina juga telah melakukan inovasi in house untuk pengembangan Minarex menjadi TDAE sebagai bahan baku rubber sintetis berkualitas tinggi. “Kalau menggunakan pihak ketiga, paten untuk teknologi ini cukup mahal dan kami akhirnya melakukannya sendiri,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi terus berkurangnya pasokan minyak mentah untuk kilang Dumai dari sumur-sumur yang ada, Pertamina melakukan terobosan untuk open access yang memungkinkan Kilang Dumai dapat dipasok dari minyak mentah impor. Percepatan terakhir adalah membangun Single Point Mooring dan Subsea Pipe Line yang sudah tertunda perancangannya dalam jangka waktu 10 tahun, kini tuntas dan telah memulai kontrak EPC.•RILIS