PGE Area Lahendong Petik Efisiensi Rp 22,8 Miliar

PGE Area Lahendong Petik Efisiensi Rp 22,8 Miliar

20-HULU-Foto 1-Pipa IntrakoneksiJakarta - Indonesia adalah Negara kepulauan yang diapit oleh dua jalur sabuk gunung api, yaitu jalur Mediterania di sebelah barat dan Sirkum Pasifik di bagian timur. Kedua sabuk gunung api tersebut menyajikan lebih dari 150 gunung api, pemicu terakumulasinya energi panas bumi dengan potensi cadangan yang sudah terpetakan sekitar 28.000 megawatt (MW). Angka tersebut setara dengan 40 persen dari cadangan dunia. Karena itu tidak keliru manakala ada yang mengatakan, Indonesia sebagai Timur Tengahnya energi panas bumi. Energi panas bumi, tersebar hampir di segenap pelosok negeri ini, merupakan energi paling ideal untuk mengatasi ketergantungan pada energi fossil yang semakin hari cadangannya terus menurun. Pasalnya selain merupakan green energi yang ramah lingkungan, energi panas bumi juga termasuk dalam rumpun energi terbarukan. Energi ini tidak akan pernah habis asal kelestarian lingkungannya tetap dijaga.

 

Maka, lewat perspektif tersebut PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang di amanahi tugas menjaga kemandirian dan ketahanan energi nasional, melalui PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebagai anak perusahan, sejak awal 1970-an telah aktif melakukan usaha pengelolaan energi tersebut. Salah satunya di wilayah kerja (WK) PGE Area Lahendong, yakni di daerah Lahendong, Kodya Tomohon dan daerah Tompaso di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Kedua daerah tersebut, sejauh yang sudah dipetakan diperkirakan menyimpan potensi energi panas bumi sekitar 350 MW. “Saat ini kontribusi Area Lahendong harusnya sebesar 100 MW dari Unit Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) 1 s/d 5. Tetapi karena  PLTP Unit 4 milik PT PLN (Persero) tidak beroperasi karena rusak maka pasokan listrik dari PLTP Lahendong hanya sebesar 80 MW,” kata Salvius Patangke, GM PGE Area Lahendong saat ditemui beberapa waktu lalu.

 

Pengembangan lapangan panas bumi Area Lahendong yang telah berproduksi sejak 14 tahun silam itu bukanlah tanpa kendala. Namun menurut Salvius untuk tetap bisa survive and sustainable growth, management harus mampu mengelola kendala tersebut sehingga menjadi motivasi untuk terus berkembang. Kreatifitas dan inovasi para pekerja menjadi faktor krusial dalam memaksimalkan potensi yang ada menjadi revenue. Melalui program Continuous Improvement Program (CIP), management PGE Area Lahendong mendorong pekerjanya untuk menciptakan berbagai terobosan sehingga meningkatkan efisiensi baik dari sisi biaya produksi, maupun waktu pengerjaan. Salah satunya adalah inovasi yang dilakukan oleh tim Proyek Kendali Mutu (PKM) Imtaq yang sukses dalam memodifikasi interkoneksi jalur uap lintas cluster sumur produksi.

 

Inovasi yang dihasilkan dari kelompok PKM tersebut, berupa tersambungnya interkoneksi yang menghubungkan jalur uap produksi di Cluster LHD-24 ke jalur uap produksi di Cluster LHD 13. “Awalnya uap produksi dari cluster LHD 24 diperuntukan untuk PLTP Unit 3 & 4, sedangkan uap produksi dari Cluster LHD 13 untuk memasok PLTP unit 1 & 2,” jelas Savius. Hal ini dikarenakan pada 2014 lalu terjadi penurunan produksi uap dari sumur-sumur di Cluster 4 dan Cluster 13 yang merupakan penyuplai uap PLTP Unit 1 & 2. Disisi lain pasokan uap untuk PLTP Unit 3 & 4 surplus sampai dengan 43 per­sen dari total produksi uap dari ke­pala sumur.

 

Permasalahan ini perlu segera dicarikan solusinya karena kalau dibiarkan perusahaan harus membayar pinalti ke PT PLN karena tidak bisa memenuhi kontrak PJBU (Perjanjian Jual Beli Uap). Kerugian lain adalah tidak tercapainya KPI revenue PGE Area Lahendong, turunnya citra perusahaan, serta dampak lain adalah terjadinya pemadaman bergilir di daerah Sulawesi Utara. Oleh karenanya pada November 2014, pekerja PGE Area Lahendong memodifikasi jalur interkoneksi suplai uap Unit 1 s/d 4. Dengan koneksi jalur uap produksi ini maka kelebihan uap di Unit 3&4 bisa disalurkan melalui pipa interkoneksi 14” ke unit 1 & 2, begitupun sebaliknya. Hasilnya PGE berhasil mengingkatkan produksi PLTP Unit 1 yang semula berkapasitas 13,6 MW menjadi 16 MW, sedangkan PLTP Unit 2 yang tadinya 15,9 MW menjadi 18,1 MW.

 

Keberhasilan PGE Lahendong dalam melakukan inovasi dimaksud bermuara pada tingkat pemanfaatan uap untuk PLTP Unit 1 s/d 4 menjadi lebih optimal. “Dari inovasi ini value creation yang berhasil kami raih adalah sebesar Rp. 22,8 milyar selama periode Juni 2014 hingga Juli 2015,” ujar Salvius menyiratkan rasa syukurnya.  Di samping itu, perusahaan juga terhindar dari penalti atas kontrak terhadap pelanggan, KPI produksi dan venting dapat dicapai sehingga citra dan reputasi korporasi dalam pandangan semua stakeholders menjadi lebih baik. Hal ini berdampak signifikan pada upaya peningkatan soft capital perusahaan selaku pemasok energi panas bumi untuk pemenuhan kebutuhan listrik di wilayah Semenanjung Sulawesi Utara. Manfaat lain dari terpasangnya jalur interkoneksi ini adalah fleksibilitas pengoperasian sumur, sehingga dapat menunjang pasokan uap, tidak hanya untuk PLTP Unit I & II melainkan juga Unit III & IV.

 

System interkoneksi ini sangat mungkin untuk diduplikasi dan diterapkan di lapangan-lapangan panas bumi lainnya dengan ciri dan karakteristik serupa. Contohnya pada 2015 lalu, sistem interkoneksi ini diadopsi oleh lapangan Ulubelu (Lampung) untuk membantu meningkatkan produksi di Unit I & II PLTP Ulubelu. Pengadopsian tersebut, diimplmentasikan setelah terlebih dahulu dilakukan studi keteknikan dan pertimbangan operasional masing-masing lapangan. “Intinya, apapun inovasinya asalkan menghasilkan peningkatan produksi, atau efisiensi sepenuhnya akan memperoleh dukungan manajemen dalam rangka mengejar peningkatan pendapatam,” kata Salvius mengakhiri perbincangan.•DIT.HULU

Share this post