GARUT - “Pemerintah Indonesia mengharapkan kontribusi energi panas bumi sebesar 7,2 Giga Watt (GW) pada 2025,” ucap Irfan Zainuddin, Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) di berbagai kesempatan. Menurut Irfan, selaku anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang bertanggung jawab dalam mengelola potensi energi panas bumi di Indonesia, PGE berharap mampu menyumbang sebesar 2,2 GW dari target 7,2 GW tersebut. Dengan porsi sebesar itu, maka tidak heran jika PGE terus mengakselerasi berbagai proyek pengembangan lapangan geothermal di seluruh wilayah kerjanya. Hingga akhir 2017, total kapasitas terpasang PGE mencapai 617 MW, sedangkan target PGE pada 2021 adalah 1.037 MW atau bertambah 420 MW dalam 4 tahun ke depan, dan tambahan 1.163 MW lagi pada 4 tahun berikutnya. “Tambahan tersebut diperoleh dari proyek-proyek yang tengah berjalan saat ini termasuk proyek small scale, serta peningkatan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) existing,” ungkap Irfan.
Meski PGE sedang dalam posisi berlari untuk mencapai target produksi, jajaran manajemen PGE tetap mengedepankan prinsip cost efficient dan effectiveness di segala lini operasi. Hal ini terbukti lewat berbagai inovasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di lapangan. Sehingga kinerja sumur, serta keandalan fasilitas produksi uap dan PLTP existing tetap terjaga. Ambil contoh, inovasi yang dilakukan engineer PGE Area Komojang dalam menekan biaya perawatan PLTP Kamojang Unit 4. “Dalam pemeliharaan PLTP, major overhaul merupakan kegiatan yang paling banyak menyerap anggaran. Salah satu kegiatan rutinnya adalah penggantian filler cooling tower PLTP,” jelas Awaludin, Assistant Manager Production PGE Area Kamojang Unit-4.
Awaludin menerangkan, berdasarkan temuan hasil inspeksi ada clogging (endapan material) pada filler cooling tower yang akan berdampak pada penurunan kinerja cooling tower, sehingga perlu dilakukan penggantian. Penggantian filler secara menyeluruh membutuhkan biaya Rp 9.474.000.000 durasi pekerjaan cukup lama, serta tingkat kesulitan dan risiko yang tinggi. Selain itu, perusahaan juga akan menghadapi potensi kerugian karena unit harus shutdown. “Untuk mengatasi masalah tersebut, manajemen PGE membentuk tim kerja khusus, bertugas menentukan filler pada cell manakah yang akan dilakukan pergantian dengan tetap menjaga kinerja cooling tower,” imbuh Awaludin, selaku ketua tim.
Maka lanjut Awaludin, tim memutuskan untuk membuat alat yang dapat menentukan bobot endapan clogging secara online, yaitu dengan metode Pengembangan Image Processing. Aplikasi Image Processing (SI-IMING) dikembangkan sebagai decision tools untuk mendeteksi sudut jatuhnya air.
Langkah-langkah perbaikan yang dilakukan adalah: (1) Input Image dan resize image untuk dapat di proses software Matlab R2012a; (2) Image Enhancement untuk meningkatkan kontras dan memberikan data lebih baik ketika diolah; (3) Melakukan Binerisasi Image untuk menemukan region of interest (ROI) dari area yang ingin dianalisis dan dilanjutkan dengan menentukan point of interest atau titik awal pengukuran sudut. Kemudian masuk ke (4), menghitung sudut jatuhnya air dengan membuat alogaritma penentuan sudut berdasarkan perhitungan dua vector. “Alogaritma yang digunakan pada aplikasi ini bertujuan untuk meminimalisir subjektivitas penglihatan manusia akibat percikan air. Lewat metode itu, perusahaan bisa menghemat hingga Rp 9.471.806.500, karena biaya perbaikan hanya sebesar Rp. 2.193.500 saja,” tutup Awaludin.•DIT. HULU