JAKARTA - “PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) pada 2017 berhasil meraih laba tertinggi dalam lima tahun terakhir, yakni sebesar US$ 95,24 juta,” ungkap Irfan Zainuddin Direktur Utama PGE saat ditemui (2/4/2018). Perolehan laba tersebut 26,7 persen lebih tinggi dibandingkan keuntungan pada 2016 lalu (US$ 75,16 juta). Capaian itu, 10 persen di atas target RKAP 2017. Irfan menjelaskan, tingginya laba yang diperoleh PGE merupakan buah manis dari konsistensi pekerja PGE dalam menjalankan prinsip efisiensi baik biaya operasi maupun investasi. Maka tidak heran jika sepanjang 2017 lalu PGE mampu menghemat Anggaran Biaya Operasi (ABO) hingga 30%, yakni: terpakai hanya US$ 51,11 juta dari US$ 72,62 juta yang disediakan.
Di samping apiknya profil keuangan PGE tahun lalu, kinerja operasi pun tak kalah gaya. Tercatat, akumulasi produksi PGE sepanjang 2017 mencapai 3.900 GWh, naik 28% dibandingkan 2016 sebesar 3.043 GWh. Raihan angka produksi tersebut, terdorong oleh beroperasinya secara penuh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 & 6 (2x20 MW) dan PLTP Ulubelu Unit 3 (55 MW) sepanjang 2017. “Di samping itu, ada beberapa fasilitas produksi yang beroperasi kembali, salah satu di antaranya PLTP Kamojang Unit 1 yang shutdown sejak 2015. Mulai 14 Desember 2017, unit ini kembali lancar beroperasi,” terang Irfan.
Dari sisi kemajuan proyek, menurut Irfan, PLTP Unit 5 Lahendong sudah beroperasi sejak 15 September 2016. Sementara PLTP Lahendong Unit 6 on stream mulai 9 Desember 2016, sedangkan PLTP Ulubelu Unit 3 pada Desember 2016. Selain itu, kontribusi produksi PGE tahun lalu secara signifikan juga disumbangkan oleh PLTP Ulubelu Unit 4 (55 MW) yang memasuki fase commercial operational date (COD) sejak 25 Maret 2017.
“Pengoperasian unit-unit baru tersebut mendorong produksi Area Lahendong meningkat hingga 84,1% dibanding 2016, dan produksi Area Ulubelu juga terdongkrak sampai 50,4% dari capaian 2016,” imbuh Irfan mewartakan derap maju kedua area itu.
Lebih jauh Irfan menyampaikan, sebenarnya raihan produksi tersebut masih berpotensi ditingkatkan lagi. Namun, hal tersebut mengalami kendala karena PLT P Karaha (30 MW) yang direncanakan beroperasi penuh 1 Mei 2017, baru terealisasi pada 26 Desember 2017 dengan kapasitas 24 MW.
Hambatan lain yang mengganjal optimalisasi produksi adalah: (1) kerusakan turbin PLTP Lahendong Unit 4 (milik PLN) sejak 11 Oktober 2017 yang hingga kini belum beroperasi, (2) shutdown PLTP Lahendong Unit 1 (milik PLN) pada 30 Mei 2017 yang baru beroperasi kembali pada 15 Juli 2017, (3) shutdown PLTP Kamojang Unit 4 (milik PGE) 18 Juli 2017 karena gempa dan beroperasi kembali pada 4 Agustus 2017.
Kerusakan PLTP tentu saja memengaruhi kinerja PGE secara keseluruhan. Dari sisi produksi, PGE mengalami opportuniy lost (revenue), sedangkan dari sudut biaya kerusakan PLTP PLN berpengaruh pada tambahan biaya operasional PGE yang tidak dianggarkan sebelumnya, untuk menormalkan kembali produksi sumur sesuai intake desain awal PLTP dimaksud.
“Opportuniny lost dan tambahan biaya operasional berdampak langsung pada bottom line PGE yaitu penurunan profit. Hal itu bisa diminimalisasi lewat kejelian manajemen PGE, dalam menentukan skala prioritas aktivitas operasi serta menekan waktu pelaksanaan overhaul faslitas produksi. Maka, penghematan besar dapat kami petik,” jelas Irfan menutup perbincangan.•dit. hulu