PGE Ulubelu: Petik Efisiensi dan Keselamatan Lewat Inovasi

PGE Ulubelu: Petik Efisiensi dan Keselamatan Lewat Inovasi

24-hulu Corner _resizeJakarta - Zero Fatality menjadi concern manajemen PT Pertamina (Persero). Hal itu diwujudkan melalui upaya penerapan aspek HSSE secara ketat di setiap lini unit usaha, baik hulu maupun hilir. Sebagai salah satu anak perusahaan hulu (APH) yang khusus bergerak dalam bidang pengusahaan energi panas bumi adalah Pertamina Geothermal Energy (PGE). Ruang lingkup kegiatan PGE seluruhnya berada di jalur Ring of Fire Indonesia, yang membentang mulai dari ujung Pulau Sabang (Aceh) hingga ke Sulawesi Utara. Karena berlokasi di wilayah pegunungan maka ancaman bencana alam, terutama bahaya tanah longsor harus di antisipasi sejak dini agar tidak menimbulkan kerugian pada asset perusahaan baik fasilitas produksi, peralatan kerja, maupun nyawa manusia.

 

Hal tersebut dibenarkan oleh Dirgo Rahayu, General Manager PGE Area Ulubelu dalam berbagai kesempatan.  “Beragamnya variasi kontur menghasilkan lereng –lereng yang berpotensi terjadi bencana, khususnya tanah longsor. Potensi longsor ini semakin meningkat karena wilayah kerja PGE yang memiliki curah hujan tinggi,” ucap Dirgo di berbagai kesempatan.  Menurut Dirgo, masalah penyediaan lahan untuk lokasi pengeboran energi panas bumi, kerap menjadi problem yang memerlukan evaluasi terpadu dari setiap stakeholder. Kondisi ketersediaan lahan datar yang terbatas akibat variasi kontur, menyebabkan PGE Ulubelu harus melakukan rekayasa konstruksi dengan metode cut & fill untuk menyediakan lahan yang cukup guna instalasi fasilitas eksplorasi dan produksi.

 

Lebih lanjut Dirgo menjelaskan, adanya pekerjaan cut & fill tentunya menghasilkan lereng-lereng baru yang perlu dievaluasi dengan cermat potensi bahaya yang akan timbul. “PGE telah melakukan beberapa upaya mitigasi bahaya yang berpotensi akan timbul melalui pendekatan keteknikan untuk menghasilkan kestabilan lereng,” tambah Dirgo. Langkah-langkah migitasi tersebut, antara lain: (1) pembentukan lereng dengan kelandaian yang sesuai dengan aspek angka keamanan, (2) penyediaan drainase di setiap bench lereng, (3) revegetasi lereng, (4) aplikasi  shotcrete dengan perkuatan tulangan pada lereng-lereng tertentu.

 

Dalam upaya mitigasi bahaya tanah longsor, PGE Area Ulubelu membentuk tim khusus untuk meningkatkan keandalan alat monitoring longsor yang diketuai oleh Mahmuddin Noor Nasution. “Penugasan kami didasari oleh kurang handalnya peralatan sistem peringatan dini longsor milik pihak ketiga yang sering mengalami gangguan, sementara proses perbaikannya memakan waktu lama. Sehingga menimbulkan potensi kehilangan revenue perusahaan, serta ketidaknyamanan pekerja dalam beraktifitas,” ujar Mahmuddin.

 

Mahmuddin menerangkan bahwa timnya berhasil menciptakan alat untuk mendeteksi  gerakan tanah yang diberi nama Landslide Detector (LSD).  Alat tersebut mampu memonitor lereng rawan longsor sepanjang waktu, sehingga upaya mitigasi dapat dilakukan sesegera mungkin. Konsep kerja alat dalam monitoring pergerakan tanah mengacu pada mekanisme kelongsoran lereng, di mana terdapat 2 mekanisme kelongsoran yaitu: (a) pergerakan tanah arah lateral, (b) pergerakan tanah arah longitudinal. “Untuk memperoleh besaran pergerakan yang terjadi, diperlukan sensor yang dapat membaca pergerakan tersebut. Untuk pergerakan tanah arah lateral diperlukan jenis Distance Sensor (DS), sementara pergerakan tanah arah longitudinal dibutuhkan Tilt Sensor (TS),” imbuh Mahmuddin.

 

Mekanisme kerja masing-masing sensor dirinci oleh Mahmuddin sebegai berikut; sensor DS bekerja ketika masa tanah bergerak, moving pole ikut bergerak, sehingga sling ikut tertarik. Tarikan sling tersebut dibaca oleh DS yang dipasang pada static pole. Data yang diambil oleh DS merepresentasikan besarnya pergerakan tanah yang terjadi. Sensor DS sendiri menggunakan optical rotary encoder yang merupakan alat elektromekanik yang dapat memonitor gerakan, posisi dan arah suatu benda. Dengan menghubungkan shaft optical encoder dengan shaft pulley, maka pergerakan sling dapat dideteksi yang mengindikasikan adanya pergerakan tanah. “Untuk memastikan sensor tahan terhadap cuaca, pelindung didesain menggunakan box panel dari bahan stainless steel SS304 yang mengacu ke standard ASTM A240 dan ASTM A666,” ucap Mahmuddin.

 

Sedangkan sensor TS dibutuhkan untuk arah longitudinal dengan mekanisme kerja sebagai berikut : Saat masa tanah bergerak, TS membaca besar sudut kemiringan yang terjadi. Besar sudut kemiringan tersebut yang akan merepresentasikan besar pergerakan dalam derajat kemiringan. Sensor TS menggunakan accelerometer digital yang mampu mengukur adanya kemiringan tanah pada dua arah sumbu X-Y dengan menggunakan 3-Axis accelerometer sebagai komponen utama. Accelerometer mengukur kemiringan berdasarkan perubahan gravitasi dengan output data digital yang dapat dibaca pada micro controller. Notifikasi dan alarm diaktifkan jika terjadi kemiringan tanah lebih dari 3 derajat. “Setelah kedua sensor terpasang, data-data tersebut dikirim menggunakan wireless sensor ke pusat pengumpul data yang selanjutnya disebut local controller,” tambah Mahmuddin.

 

Salah satu keunggulan LSD adalah adanya sistem verifikasi data, di mana pada setiap DS dan TS terdapat 2 sensor. Apabila pembacaan data dari kedua sensor bernilai sama, maka data tersebut dianggap valid, sebaliknya apabila terdapat perbedaan data maka sistem akan memberikan notifikasi otomatis kepada petugas maintenance untuk melakukan pengecekan. Tujuan dari sistem verifikasi ini adalah untuk menghindari adanya alarm palsu akibat kesalahan pembacaan sensor. Dengan adanya 2 sensor dan logic perbandingan nilai pembacaan sensor, diharapkan data yang diterima lebih akurat.  “Dari pembuatan alat tersebut PGE mampu menghemat Rp. 290 juta atau 60% dibandingkan dengan pembuatan dan pemasangan alat pendektesi tanah longsor milik pihak ketiga,” pungkas Mahmuddin.•DIT.HULU

Share this post