JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas yang sedang digodok oleh anggota legislatif diharapkan dapat dengan spesifik dan seimbang mengatur industri Migas baik di hulu maupun di hilir sehingga dapat memberantas mafia migas yang selama ini membelenggu cita-cita pencapaian kedaulatan energi di Indonesia. Demikian salah satu poin utama yang dibincangkan dalam Seminar Nasional mengenai Urgensi RUU Migas dalam mendorong Kedaulatan Energi Nasional pada Rabu (23/12) di Hotel Alia Cikini Jakarta Pusat.
Seminar ini diadakan Nusantara Initiative bekerja sama dengan Bakornas LTMI PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Indonesia. Hadir sebagai panel speaker dalam forum ini, anggota DPR RI Komisi VII Inas Nasrullah Zubir,B.E., S.E., Guru Besar ITS dan mantan Anggota Dewan Energi Nasional, Prof. Ir. Mukhtasor, M.Eng., Ph.D, serta Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni, S.H., M.H., Turut hadir pula dalam seminar ini Officer Legislative & Judiciary Relations Pertamina Abraham Lagaligo.
Pada kesempatan tersebut, anggota DPR RI Komisi VII Inas Nasrullah Zubir mengungkapkan sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 2, kekayaan sumber daya alam seharusnya digunakan sepenuhnya untuk hajat hidup masyarakat Indonesia. Ia berharap ke depannya RUU Migas harus membahas dan mengatur mengenai hilir Migas secara keseluruhan sehingga tidak ada celah lagi untuk mafia Migas masuk dan merongrong kekayaan masyarakat Indonesia.
“RUU yang akan dibuat nanti harus seimbang antara hulu dan hilir, karena UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 itu, 90% justru lebih banyak mengatur bisnis hulu sedangkan pada bagian hilir nyaris tidak diatur dengan baik,” lanjut Inas.
Ia menambahkan pentingnya Indonesia untuk berdaulat terhadap ketahanan energi sendiri, serta dapat mencontoh negara lain, seperti Singapura atau Jepang yang meski tidak memiliki ladang minyak sebesar Indonesia namun memiliki cadangan minyak cukup besar. “Indonesia sekarang masih nol besar dalam ketahanan energi, keran migas di dalam negeri seperti dikunci dan membiarkan keran impor dibuka seluas-luasnya,” ujar Inas.
Sedangkan Prof. Dr. Mukhtasor yang juga mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2009-2014, menilai ruang lingkup UU Migas saat ini sangat kecil. Mukhtasor mengusulkan revisi UU Migas harus bisa mengakomodir semua kepentingan yang ada, terutama rakyat, pemerintah, dan pelaku usaha. Dia juga ingin revisi tersebut bisa memberikan kewenangan yang lebih besar kepada BUMN untuk mengelola aset cadangan migas nasional. “Ini lebih seperti UU tata kelola bisnis Migas, terlalu besar jika disebut sebagai UU Migas,” ujarnya.
Menurut Mukhtasor, saat ini Pertamina sebagai BUMN hanya mengelola 15 persen dari cadangan Migas Nasional. Makanya sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan kedaulatan energi. Oleh karenanya, ia mengatakan revisi UU Migas merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia mengambil alih sumber-sumber migas. Ia mengatakan, seharusnya Pertamina diprioritaskan dalam pengelolaan blok-blok Migas di Indonesia, sehingga dalam mengatur tersalurkannya PSO, Pertamina lebih dimudahkan. “Bung Karno bahkan mengatakan, biarkanlah kekayaan alam kita tersimpan sampai nanti putera-puteri bangsa ini mampu mengelolanya sendiri,” tambah Mukhtasor.•Starfy