Bali - PT Pertamina EP Cepu sebagai anak perusahaan Pertamina dan sebagai pelaku usaha dalam industri hulu migas mendapatkan angin segar jika penyederhanaan izin kegiatan hulu migas yang diajukan Kelompok Kerja Formalitas SKKMigas kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) nanti disetujui. Mengingat waktu yang tersedia dalam pengerjaan suatu project dapat digunakan seefisien dan semaksimal mungkin. Hal ini berdampak positif terhadap kinerja dan pencapaian target serta efisiensi operation cost project.
Hal tersebut terungkap dalam Rapat berkala kehumasan SKKMigas Jabanusa yang diselenggarakan di Kuta, Bali (27-28/7) membahas tentang percepatan proses perizinan pada industri hulu migas. Acara bertema “Dukungan perizinan pusat dan daerah untuk percepatan kegiatan hulu migas” ini diselenggarakan atas kolaborasi SKKMigas dan KKKS se-Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabanusa).
Hadir sebagai pembicara antara lain Direktur Bidang Deregulasi Penanaman Modal BKPM Yuliot, Bupati Blora Djoko Nugroho, Kasubdit Penetapan Hak Tanah Kementerian Agraria & Tata Ruang Kintot Eko Baskoro, Direktur Rencana Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kustanta Budi Prihatno, Kabiro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit, Kasie Survey Alur dan Perambuan Subdit Perambuan Direktorat Kenavigasian Kementrian Perhubungan Ditjen Hubla Didi Supriyadi, Didik S. Setyadi dari SKK Migas (Kepala Kelompok Kerja Formalitas), dan Kepala Dinas Kebandaran SKK Migas Sutrisno.
Hadir sebagai peserta dalam acara tersebut antara lain Bupati, Wali Kota dan atau Kepala Daerah di 11 Kabupaten dan Kota beserta Dinas, dan instansi terkait seperti Dinas Perijinan, Dinas ESDM, Dinas Kehutanan, Kantor Pertanahan (BPN), Perhutani, KAI, pimpinan legislatif (Ketua DPRD), dan serta Pimpinan KKKS Eksploitasi dan Eksplorasi se- Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Menurut catatan, ada 42 perizinan Kementerian Energi Sumber Daya Minyak (ESDM) yang sudah diserahkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).Namun saat ini, masih ada 341 perizinan yang tersebar di 17 instansi di berbagai departemen pemerintah pusat dan daerah.
Selain terhambat masalah perizinan, kegiatan industri migas juga terhambat masalah pembebasan lahan. Dengan demikian, jeda waktu antara penemuan cadangan migas baru sampai ke tahap produksi migas di Indonesia rata-rata melampaui 10 tahun, bahkan ada yang membutuhkan waktu hingga 18 tahun untuk bisa memproduksi migas. “Padahal, Kontrak Kontraktor Kerjasama (KKKS) hanya 30 tahun. Karena itu, kini banyak KKKS yang mengajukan perpanjangan kontrak karena mereka merasa waktunya habis hanya untuk mengurus izin dan membebaskan lahan,” kata Sekretaris SKKMigas Budi Agustiono.
Untuk mempercepat perizinan dalam industri hulu migas, Kelompok Kerja Formalitas SKKMigas telah mengusulkan mengurangi pintu perizinan, menyederhanakan dan mempercepat tata waktu lewat pembentukan tiga cluster perizinan. Ketiga cluster tersebut meliputi: kelompok perizinan tata ruang; kelompok perizinan lingkungan, keselamatan, dan keamanan; serta kelompok perizinan penggunaan sumber daya dan infrastruktur lainnya.
“Dengan penetapan tiga cluster itu percepatan perizinan bisa dilakukan secara efektif. Dalam usulan kami, yang mengurus semua izin adalah SKKMigas, dan akan langsung diserahkan pada BKPM untuk mendapatkan persetujuan,” tambah Kepala Kelompok Kerja Formalitas SKKMigas, Didik S. Setyadi.
Menurut Didik, yang harus dipahami oleh semua pemangku kepentingan, khususnya aparat negara, kegiatan dalam industri hulu migas adalah kegiatan negara. Contoh paling sederhana, seluruh lahan yang diperuntukkan untuk mendukung kegiatan hulu migas tercatat sebagai aset milik negara cq Menteri Keuangan. “Jadi lahan yang dibebaskan dalam kegiatan hulu migas itu adalah aset negara. Tidak ada satupun negara di dunia, kegiatan negara harus mengurus perizinan pada penyelenggara negara. Seharusnya, penyelenggara negara cukup melakukan koordinasi dan kemudian membuat ketetapan,” jelasnya.
Sebelumnya, Direktur Deregulasi Penanaman Modal BKPM mengakui perizinan yang berbelit menghambat investor masuk ke dalam negeri, termasuk industri migas. Padahal saat ini Indonesia masih termasuk sebagai negara importir minyak. Permasalahan menjadi lebih rumit karena di daerahpun ada perpanjangan perizinan yang seharusnya tidak perlu perpanjangan, karena percepatan di pusat diharapkan bisa diikuti oleh percepatan di daerah.•PEPC