VP Compliance: Perlunya Undangundang Whistleblower sebagai Bagian dari Upaya Pencegahan Korupsi

VP Compliance: Perlunya Undangundang Whistleblower sebagai Bagian dari Upaya Pencegahan Korupsi

19-LC&CSURABAYA –  Bertempat di JW Marriot Hotel Surabaya, pa­da Kamis (12/5), VP Compliance Pertamina, Tina Amalia, me­wakili Chief Legal Counsel & Compliance Pertamina (CLCC), Genades Panjaitan, ha­­dir se­bagai pembicara pada Se­minar Nasional bertema Praktik-Prak­tik dan Perlunya Undang-undang Whistleblower, bersama pembicara lainnya, yaitu dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) - Nuning Isnainijati, SE, Ak., M.Ak., selaku Analis Senior Group Penanganan Anti Fraud Bi­dang Audit Internal, Manajemen Risiko dan Pengendalian Kualitas dan Direktorat Jenderal Pajak - Dr. Ir. Imam Arifin, M.A., selaku Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Apa­ratur. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan, antara lain akademisi, praktisi, pejabat pe­me­rintah, serta pejabat publik lainnya.

 

Seminar Nasional yang di­selenggarakan oleh Pusat Pe­neliltian dan Pencegahaan Kejahatan Kerah Putih (P3K2P) STIE Perbanas Surabaya bekerja sama dengan Association of Certified Examiner (ACFE) East Ja­va Region. Tujuan Seminar ini adalah untuk menyamakan persepsi tentang makna Whistle­blowing System (WBS) yang akan membantu mencegah ko­rupsi di Indonesia dan menjadi sarana komunikasi efektif untuk mendorong Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas dan mengundangkan Undang-Undang Whistleblower.

 

Dalam kesempatan ini, Tina memaparkan mengenai bis­nis proses pengelolaan WBS di Pertamina yang telah dijalankan di Pertamina sejak tahun 2008 sebagai sarana bagi para pemangku kepentingan (stakeholders), khususnya insan Pertamina untuk melaporkan ada­nya unethical behavior (pe­rilaku tidak etis) di Pertamina me­lalui suatu sistem. WBS di Pertamina  dirancang khusus untuk menerima laporan penga­duan yang berkaitan dengan dugaan korupsi, konflik ke­pen­tingan, suap, pencurian, ke­cu­rangan, serta pelanggaran hukum dan aturan perusahaan.

 

Ada pun tiga prinsip dalam penerapan WBS di Pertamina adalah anonim, rahasia, dan in­dependen. Anonim berarti pelapor dimungkinkan untuk tidak menyebutkan identitasnya, rahasia berarti identitas pelapor dirahasiakan dari terlapor, dan independen berarti pihak yang menerima laporan pengaduan adalah pihak independen dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.

 

Untuk menjamin indepen­densi dari laporan WBS, Per­tamina menggunakan konsultan eksternal untuk menampung laporan yang disampaikan oleh pelapor, selanjutnya analis konsultan akan me-review la­poran masuk, membuat la­poran dugaan pelanggaran dan rekomendasi tindak lanjut secara umum kepada Pertamina, serta mengirimkan notifikasi kepada pelapor disertai dengan pemberian nomor referensi sebagai informasi bahwa laporan WBS yang disampaikan telah diteruskan kepada Pertamina. Berdasarkan notifikasi dari konsultan, Tim WBS Pertamina akan menindaklanjuti dan mem­berikan tanggapan atas laporan yang masuk.

 

Lebih lanjut disampaikan mengenai hambatan dan tan­tangan dalam proses im­plementasi WBS di Pertamina, meliputi: informasi yang didapat dari pelapor sangat terbatas dan tidak dapat digali lebih dalam, mengingat beberapa pelapor tidak meninggalkan kontaknya, pelapor tidak menjawab pada saat konsultan independen meng­hubunginya kembali, serta pelapor tidak bersedia untuk memberikan informasi lebih lanjut karena pelapor merasa tidak nyaman/takut terbongkar identitasnya. Hal-hal tersebut menyebabkan laporan yang diterima menjadi tidak lengkap, dan menimbulkan risiko salah menginterpretasikan laporannya.

 

Sebagai upaya untuk men­dukung kesuksesan im­plementasi WBS, perlu ada ketentuan yang  dapat mem­beri­kan perlindungan bagi pelapor dalam memberikan informasi yang lengkap serta jaminan kerahasiaan identitas pribadi pelapor. Di samping itu, dari sisi perusahaan sebagai penerima laporan, perlu ada ketentuan sanksi bagi pelapor yang menyalahgunakan sistem WBS. Untuk menunjang hal ini, Pertamina juga mendukung upaya panitia seminar untuk mendorong para pemangku ke­pentingan segera membahas dan mengundangkan Undang-undang Whistleblower.

 

Menurut salah satu pe­serta Seminar Nasional ini, im­plementasi WBS di Per­ta­mina dinilai sudah cukup baik, akan tetapi tren kuantitas penga­duan mengenai unethical be­havior (perilaku tidak etis) di Pertamina juga naik. “Tren ke­naik­an tersebut seharusnya diartikan positif karena kenaikan tersebut menunjukan awareness stakeholder dan pekerja Per­tamina semakin meningkat terhadap manfaat implementasi WBS untuk memitigasi unethical behavior dan tindak pidana ko­rupsi,” jelas Tina.

 

Hal ini dipertegas oleh CLCC, Genades Panjaitan, bahwa salah satu upaya un­tuk memerangi korupsi di Per­tamina, WBS merupakan sebagai salah satu program kerja yang menjadi concern untuk segera ditindaklanjuti. Program kerja CLCC lainnya tersebut adalah kebijakan terkait dengan gratifikasi, code of conduct, edukasi dan internalisasi GCG, Compliance Online System (COMPOLS) dan boundary KPI, Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), reward and punishment, serta MoU antara KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bagi Genades, implementasi WBS merupakan salah satu wujud nyata dari tata nilai (values) Pertamina yaitu Clean dan bukti keseriusan Pertamina dalam men­cegah korupsi.•LC&C

Share this post