SURABAYA – Bertempat di JW Marriot Hotel Surabaya, pada Kamis (12/5), VP Compliance Pertamina, Tina Amalia, mewakili Chief Legal Counsel & Compliance Pertamina (CLCC), Genades Panjaitan, hadir sebagai pembicara pada Seminar Nasional bertema Praktik-Praktik dan Perlunya Undang-undang Whistleblower, bersama pembicara lainnya, yaitu dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) - Nuning Isnainijati, SE, Ak., M.Ak., selaku Analis Senior Group Penanganan Anti Fraud Bidang Audit Internal, Manajemen Risiko dan Pengendalian Kualitas dan Direktorat Jenderal Pajak - Dr. Ir. Imam Arifin, M.A., selaku Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan, antara lain akademisi, praktisi, pejabat pemerintah, serta pejabat publik lainnya.
Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Peneliltian dan Pencegahaan Kejahatan Kerah Putih (P3K2P) STIE Perbanas Surabaya bekerja sama dengan Association of Certified Examiner (ACFE) East Java Region. Tujuan Seminar ini adalah untuk menyamakan persepsi tentang makna Whistleblowing System (WBS) yang akan membantu mencegah korupsi di Indonesia dan menjadi sarana komunikasi efektif untuk mendorong Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas dan mengundangkan Undang-Undang Whistleblower.
Dalam kesempatan ini, Tina memaparkan mengenai bisnis proses pengelolaan WBS di Pertamina yang telah dijalankan di Pertamina sejak tahun 2008 sebagai sarana bagi para pemangku kepentingan (stakeholders), khususnya insan Pertamina untuk melaporkan adanya unethical behavior (perilaku tidak etis) di Pertamina melalui suatu sistem. WBS di Pertamina dirancang khusus untuk menerima laporan pengaduan yang berkaitan dengan dugaan korupsi, konflik kepentingan, suap, pencurian, kecurangan, serta pelanggaran hukum dan aturan perusahaan.
Ada pun tiga prinsip dalam penerapan WBS di Pertamina adalah anonim, rahasia, dan independen. Anonim berarti pelapor dimungkinkan untuk tidak menyebutkan identitasnya, rahasia berarti identitas pelapor dirahasiakan dari terlapor, dan independen berarti pihak yang menerima laporan pengaduan adalah pihak independen dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.
Untuk menjamin independensi dari laporan WBS, Pertamina menggunakan konsultan eksternal untuk menampung laporan yang disampaikan oleh pelapor, selanjutnya analis konsultan akan me-review laporan masuk, membuat laporan dugaan pelanggaran dan rekomendasi tindak lanjut secara umum kepada Pertamina, serta mengirimkan notifikasi kepada pelapor disertai dengan pemberian nomor referensi sebagai informasi bahwa laporan WBS yang disampaikan telah diteruskan kepada Pertamina. Berdasarkan notifikasi dari konsultan, Tim WBS Pertamina akan menindaklanjuti dan memberikan tanggapan atas laporan yang masuk.
Lebih lanjut disampaikan mengenai hambatan dan tantangan dalam proses implementasi WBS di Pertamina, meliputi: informasi yang didapat dari pelapor sangat terbatas dan tidak dapat digali lebih dalam, mengingat beberapa pelapor tidak meninggalkan kontaknya, pelapor tidak menjawab pada saat konsultan independen menghubunginya kembali, serta pelapor tidak bersedia untuk memberikan informasi lebih lanjut karena pelapor merasa tidak nyaman/takut terbongkar identitasnya. Hal-hal tersebut menyebabkan laporan yang diterima menjadi tidak lengkap, dan menimbulkan risiko salah menginterpretasikan laporannya.
Sebagai upaya untuk mendukung kesuksesan implementasi WBS, perlu ada ketentuan yang dapat memberikan perlindungan bagi pelapor dalam memberikan informasi yang lengkap serta jaminan kerahasiaan identitas pribadi pelapor. Di samping itu, dari sisi perusahaan sebagai penerima laporan, perlu ada ketentuan sanksi bagi pelapor yang menyalahgunakan sistem WBS. Untuk menunjang hal ini, Pertamina juga mendukung upaya panitia seminar untuk mendorong para pemangku kepentingan segera membahas dan mengundangkan Undang-undang Whistleblower.
Menurut salah satu peserta Seminar Nasional ini, implementasi WBS di Pertamina dinilai sudah cukup baik, akan tetapi tren kuantitas pengaduan mengenai unethical behavior (perilaku tidak etis) di Pertamina juga naik. “Tren kenaikan tersebut seharusnya diartikan positif karena kenaikan tersebut menunjukan awareness stakeholder dan pekerja Pertamina semakin meningkat terhadap manfaat implementasi WBS untuk memitigasi unethical behavior dan tindak pidana korupsi,” jelas Tina.
Hal ini dipertegas oleh CLCC, Genades Panjaitan, bahwa salah satu upaya untuk memerangi korupsi di Pertamina, WBS merupakan sebagai salah satu program kerja yang menjadi concern untuk segera ditindaklanjuti. Program kerja CLCC lainnya tersebut adalah kebijakan terkait dengan gratifikasi, code of conduct, edukasi dan internalisasi GCG, Compliance Online System (COMPOLS) dan boundary KPI, Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), reward and punishment, serta MoU antara KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bagi Genades, implementasi WBS merupakan salah satu wujud nyata dari tata nilai (values) Pertamina yaitu Clean dan bukti keseriusan Pertamina dalam mencegah korupsi.•LC&C