Jakarta -Hampir 2 tahun, Dwi Seotjipto menahkodai perusahaan minyak dan gas negara, PT Pertamina (Persero). Pria kelahiran Surabaya 60 tahun lalu ini, sebelumnya merupakan orang kepercayaan Menteri BUMN kala itu, Dahlan Iskan, untuk memimpin PT Semen Indonesia Tbk, holding perusahaan semen pelat merah.
Kini di pos barunya, Dwi punya pekerjaan rumah menjadikan Pertamina sebagai world class energy company. Sebelum sampai tahap itu, dirinya melakukan beres-beres dengan menutup celah inefisiensi dalam tubuh perusahaan. Menurutnya, selama ini banyak yang menilai Pertamina sebagai perusahaan yang tidak efisien.
Banyak langkah sudah ditempuh, dari efisiensi di sisi operasional, perombakan kilang minyak, mencegah kapal BBM 'kencing' di tengah laut, sampai paling fenomenal dengan membereskan pembelian minyak impor lewat pembubaran anak usahanya, yaitu Petral.
Berikut petikan wawancara khusus detikFinance dengan Dwi di ruang rapat, kantor pusat Pertamina, Gambir, Jakarta, pekan lalu:
Hampir 2 tahun Anda memimpin Pertamina, perubahan apa saja yang dilakukan?
Perubahan ini berdasarkan pada filosofi, pertama Pertamina adalah perusahaan energi. Maka Pertamina harus mencari energi yang lebih murah untuk ditawarkan kepada masyarakat. Jadi berpikirnya tidak harus jualan minyak, jualan gas, tapi energi apa saja yang lebih murah, itu yang harus dicari dan dijual.
Kedua, masa lalu Pertamina menjual produk subsidi. Sekarang kita masuk pada era subsidi semakin kecil dan lebih mengarah no more subsidi. Artinya akan masuk ke pasar lebih terbuka dengan persaingan lebih tajam. Sehingga perubahan mindsetnya adalah bagaimana Pertamina harus menjadi perusahaan yang the most efisien, karena dalam persaingan di market, siapa yang paling efisien, yang memiliki infrastruktur, dia yang menang.
Ketiga, karena yang digarap Pertamina adalah luas, maka di masa lalu ada 'silo-silo' atau ada yang berkuasa di 'kerajaan masing-masing', dengan kelompoknya sendiri. Ini suatu masalah yang harus diubah mindset-nya ke arah membangun sinergi. Manakala mindset ini sudah berubah, maka implementasi untuk perubahan macam-macam bisa jalan.
Efisiensi apa saja yang sudah dilakukan?
Kita melihat di struktur biaya pertamina ini mana yang paling besar. Yang paling besar adalah impor, hampir 80-90% cost of Pertamina datang dari situ, dimakan di situ. Jadi kalau kita melakukan perbaikan 1% saja, nilainya cukup besar. Begitu kita lihat bahan baku dari luar untuk sampai ke Pertamina, di situ keliatan kalau kita mau impor ternyata harus lewat Petral.
Kenapa dulu harus lewat Petral?
Sebelum kita tahu di Petral itu ada sesuatu, dipakai orang untuk bermain, tetapi itu sudah sebenarnya kok rangkaiannya panjang. Akhirnya dengan dukungan Presiden, Petral kita bubarkan. Ini Salah satu hal yang mendasar kita lakukan perubahan, yang sebelumnya kita tahu sudah ada jadi wacana, tapi belum berhasil.
Efisiensi di kilang minyak?
Di kilang target ke depan adalah peningkatan kapasitas dan petrokimia. Di kapasitas kilang, sebelum nanti jadi kilang baru, upgrading segala macam, kawan-kawan (pegawai) kita ajak untuk kembangkan inovasi yang ada. Selama ini kita selalu menerima bahwa kilang kita tua, nggak efisien, oleh karena cost pasti tinggi. Oleh karena itu kita ajak kawan-kawan, sebenarnya di mana sih letak cost tinggi.
Apa harus menyerah, kilangnya tua. Sebenarnya nggak, crude ada di sini, kilang ada di sini, market ada di sini. Setelah kilang kita benahi dan kawan-kawan di kilang kita ajak berpikir inovatif, sekarang nggak ada lagi pertanyaan itu. Sekarang pemeonya kilang harus maksimum produksi, kekurangannya kita impor. Kita punya kilang harus maksimum, added value (nilai tambah) harus di sini.
Di kilang, aset yang selama ini mangkrak, ada TPPI sekarang bisa kita operasikan maksimal, dan ini sangat besar mengurangi impor kita. Kita juga membangun kilang baru, bangun kilang itu harus tak boleh ditunda-tunda.
Dulu ada nafta. Kita punya produksi kelebihan nafta. Lalu nafta itu diekspor dengan harga yang murah. Ketika saya tanya, di luar negeri diapain ini. Di Singapura dicampur jadi bensin premium, dan premiumnya kita impor. Jadi sekarang tidak lagi, nafta sudah kita proses sendiri di dalam negeri, added value harus di Indonesia.
Pertamina tak lagi membuka L/C pada pembelian minyak. Itu yang membuat kredit jangka pendek Pertamina turun, dari US$ 5 miliar jadi sekitar US$ 300 juta dalam 1,5 tahun terjun bebas.
Bagaimana Pertamina gencar mengatasi masalah kapal 'kencing di tengah laut, dan apakah akan menambah kapal sendiri?
Sampai ada istilah kapal itu 'kencing' di tengah laut itu sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Tetapi kenapa itu terus terjadi? Masalahnya apakah kita berani menegakkan hukum. Artinya, begitu mulai ketahuan adalah losses di kapal, kapal harus ditahan dulu diproses, sampai ketahuan losses berapa dan apa sebabnya.
Kadang-kadang setelah beberapa lama ditahan, diketahui bahwa cairan yang dibongkar dari kapal ini sudah banyak air, berarti di jalan terjadi pertukaran cairan. Ini harus diproses, oleh karena itu hari-hari ini kita banyak memproses kapal seperti itu. Kita umumkan agar publik tahu.
Sedangkan mengenai kepemilikan kapal itu. Kita punya strategi untuk meningkatkan kapal-kapal Pertamina, dalam pengendalian Pertamina. Untuk kapal, kita utamakan kemampuan lokal, khususnya untuk kapal-kapal kelas general purpose dan medium itu di dalam negeri, sampai dengan 17.000 DWT. Kalau untuk kapal-kapal besar kita masih di luar negeri. Ke depan, kalau kita pesan 4 kapal, maka 2 di buat di dalam negeri dan 2 lagi kita minta bekerja sama dengan perusahaan lokal.
Dari berbagai efisiensi itu, seberapa besar dampaknya ke keuangan Pertamina?
Kita memperoleh efisiensi. Kalau tahun yang lalu sudah sering kita sebut US$ 608 juta. Tahun Ini sampai dengan Juni, satu semester kita mendapatkan financial impact dari proses efisiensi yang kita lakukan US$ 1,089 miliar (atau sekitar Rp 13 triliun lebih).
(hns/wdl)
Sumber: