Synchronized Slump
|
Agustus 2019, Morgan Stanley merilis laporannya bahwa pertumbuhan ekonomi dunia mulai melambat, kondisi finansial global saat ini sedang dihadapkan pada risiko yang menunjukkan kecendurungan negatif di beberapa negara. Sebagai reaksi atas kondisi tersebut, International Monetary Fund (IMF) pada Juli 2019 juga telah memotong proyeksi pertumbuhan global menjadi yang terendah sejak 2009, yakni di kisaran 3.2 persen dari sebelumnya berada di kisaran 3.5 persen. Kondisi ini merupakan dampak dari synchronized slump yaitu melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara besar dunia seperti Amerika Serikat dan Tiongkok yang kemudian meluas ke beberapa negara lainnya.
Kondisi ekonomi di Amerika Serikat dan Tiongkok menunjukan tren negatif, hal tersebut terjadi akibat dampak dari perang dagang yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok di kuartal kedua hanya 6.2 persen, terendah sejak 1992. Pasar Amerika juga terus menunjukan tren negatif dengan melemahnya industri manufaktur. Pertumbuhan ekonomi Paman Sam juga hanya berkisar 2 persen, turun signifikan dibandingkan triwulan pertama 2019 yang berkisar di angka 3 persen. Lebih jauh, kurva imbal hasil US Treasury dengan tenor 10 dan 2 tahun juga mengalami inversi atau keterbalikan. Beberapa analis memprediksi bahwa inversi yang terjadi merupakan pertanda bahwa resesi ekonomi sudah di depan mata.
Sementara itu di Eropa, Bank Central Jerman telah menyatakan bahwa Jerman akan segera memasuki masa resesi apabila kondisi ekonomi negara tersebut terus mengalami penurunan. Rasio pertumbuhan GDP Jerman di kuartal dua tercatat -0.1 persen, turun dari kuartal pertama yang berada di kisaran 0.4 persen. Melemahnya ekonomi Jerman merupakan efek domino dari perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat serta prahara Brexit yang berimbas pada melemahnya industri manufaktur dan otomotif milik Jerman. Ketidakpastian kesepakatan Brexit juga berimbas negatif pada turunnya tingkat kepercayaan investor akan kesehatan pasar Inggris.
Berkaca pada kondisi tersebut, negara-negara di kawasan Asia juga dihadapkan pada permasalahan ekonomi serupa. Negara-negara yang menjadi pusat ekonomi Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi dalam menghadapi laju perekonomian yang melambat dengan menurunnya ekspor-impor serta dinamika politik yang terjadi di kawasan tersebut.
Kondisi demikian tentunya bukan pertanda baik bagi ekonomi global, beberapa analis bahkan memprediksi bahwa resesi global akan terjadi mengacu pada peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi di beberapa negara. Apakah synchronized slump merupakan sinyal bahwa resesi global semakin dekat bahkan akan lebih cepat terjadi dari prediksi para analis?
Sumber : Investor Relations – Corporate Secretary
Untuk komentar, pertanyaan dan permintaan pengiriman artikel Market Update via
email ke pertamina_IR@pertamina.com