Jakarta – Partnership dalam pengelolaan asset migas menjadi salah satu prioritas PT Pertamina (Persero) menjawab tantangan industri migas saat ini. Pergerakan harga minyak dunia, kebijakan internasional, serta kepastian hukum di Indonesia merupakan disruptive event yang sangat berpengaruh pada bisnis migas.
Hal tersebut disampaikan VP Corporate Business Strategic Planning Pertamina Ernie D Ginting dalam seminar Energy Policy: Disruption Approach to Improve Friendly Investment Climate yang digelar di Jakarta, 19 April 2018.
Ernie mengungkapkan, bisnis migas memiliki karakter yang unik dan spesifik yakni beresiko tinggi (high risk), pemanfaatan teknologi (high technology), dan memerlukan modal kerja yang besar (high capital). Sementara itu, investasi yang dilakukan pada industri ini memerlukan waktu panjang untuk bisa di-monetisasi (long-term investment).
Tantangan bisnis energi juga didorong oleh kondisi eksternal, seperti geopolitik, kondisi bisnis, dan aspek lingkungan. Contohnya harga minyak dunia yang mengalami volatilitas tinggi pada tiga tahun terakhir. Pada tahun 2015, harga minyak jenis Brent sempat turun hingga level US$30 per barel padahal sebelumnya memiliki rata-rata US$100 per barel. Kini, pada pertengahan April 2018, minyak jenis ini telah bergerak naik menjadi US$68 per barel.
“Pertamina harus mengelola dengan baik faktor-faktor eksternal dan internal ini. Termasuk kepastian hukum di dalam negeri dan aturan internasional seperti Paris Agreement dan kewajiban di beberapa negara terkait upaya low emission dengan kualifikasi Euro4 dimana Pertamina juga sudah mulai mengimplementasikan,” jelas Ernie.
Dengan kondisi demikian, Ernie menambahkan, kemitraan (partnership) dengan perusahaan lain menjadi kebutuhan dan kelaziman bagi pemain migas. Saat ini, Pertamina bertindak sebagai operator pada sekitar 63% dari total ladang migas yang dimiliki. 10% dengan partner dan sisanya non-operator. Partnership menjadi salah satu strategi yang akan diutamakan Pertamina untuk membagi resiko, modal, dan akses teknologi.
“Dibandingkan dengan international oil company (IOC), Pertamina masih sangat kecil dalam hal keuangan dan produksi. Kami berharap dukungan dari Pemerintah,” tutup Ernie.