Karen: Kurangi Ketergantungan Indonesia Pada Bahan Bakar Minyak

Karen: Kurangi Ketergantungan Indonesia Pada Bahan Bakar Minyak

JAKARTA, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) menyerukan perlunya Indonesia untuk mengurangi kebergantungan terhadap minyak dan beralih pada sumber energi alternatif untuk mengamankan ketahanan energi nasional yang berkelanjutan di masa mendatang.


Hal itu disampaikan dalam pidatonya di forum Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washinton D.C. Amerika Serikat yang mengetengahkan isu mengenai Ketahanan Energi yang berkelanjutan. Karen merupakan CEO wanita pertama asal Indonesia yang memiliki kesempatan untuk berbicara dalam forum prestisius tersebut.


Konsumsi energy primer Indonesia telah meningkat sebesar 50% dalam satu decade terakhir. Di sisi lain, produksi minyak yang saat ini menjadi penyokong utama kebutuhan energi nasional telah jatuh jauh di bawah produksi puncaknya 1,6 juta barel per hari menjadi sekitar 861.000 barel per hari pada 2012. Pada saat yang sama, cadangan minyak terbukti Indonesia juga turun terus sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat penurunan cadangan minyak mentah tercepat di Asia. Namun, di sisi lain 30% dari total konsumsi energi primer Indonesia masih bersumber dari sehingga telah menempatkan Indonesia ke dalam daftar negara net importir minyak. Secara geopolitik, terjadinya gejolak di Timur Tengah akan menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan bagi pasokan minyak ke Indonesia.


“Resiko ini harus kita sikapi secara pro aktif dengan upaya mengurangi kebergantungan pada minyak dan segera beralih ke sumber energi alternatif, seperti gas alam, gas non konvensional, dan energi baru terbarukan yang cadangannya di Indonesia masih sangat menjanjikan,” tutur Karen.


Selain dilimpahi gas alam, Coalbed Methane (CBM) atau gas methane batubara merupakan gas serbaguna yang mampu memenuhi kebutuhan berbagai macam pasar dengan harga yang sangat terjangkau, yaitu setengan dari harga minyak diesel. Apalgi posisi cadangannya merupakan yang terbesar ke-6 di dunia. Indonesia dapat secara bertahap mengembangkan CBM dan Pertamina telah merencanakan investasi US$1,5 miliar untuk 200 sumur eksplorasi CBM dalam 5 tahun ke depan.


Cepat atau lambat Indonesia dan juga negara dunia lainnya harus mengucapkan selamat tinggal pada minyak sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik. Pemerintah telah pula merencanakan untuk memperbesar porsi energi terbarukan dalam bauran energy nasional, dari 10 juta ton setara minyak saat ini menjadi 99 juta ton setara minyak pada 2025. Harus diakui, pembicaraan mengenai rencana pengembangan energy terbarukan telah lama berlangsung dan hasil capaian yang sudah diraih, seperti panas bumi, biofuel, dll masih dibawah harapan. Namun, kita harus yakin dapat memenuhi target-target pemanfaatan energi terbarukan tersebut lebih cepat lagi, geothermal contohnya.Indonesia memiliki potensi panas bumi untuk menghasilkan listrik sebesar 29.000 MWe, namun baru sekitar 1.200 MWe yang dapat diproduksikan oleh Pertamina. Namun, saat ini ada momentum menggembirakan di mana jumlah investor di sektor ini mulai masuk dalam beberapa tahun terakhir, seperti Sumitomo, Jepang, Tata Energy, India, serta British Petroleum, dan juga signal positif lainnya, seperti kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Selandia Baru yang telah lebih dulu sukses memanfaatkan panas bumi.


Selain itu, Indonesia juga berpotensi menjadi pusat produksi biofuel/biodiesel dunia, kendati saat ini masih terhalang oleh kondisi dimana bahan dasar biofuel masih banyak diekspor karena memiliki harga lebih tinggi untuk produksi bahan makanan. Bioethanol juga sangat potensial dikembangkan untuk mengurangi impor minyak sekaligus memperbaiki standar kualitas udara. Dengan rencana mencampurkan 10% bioethanol pada BBM yang memiliki oktan tinggi maka pada tahun 2020 akan dapat mengurangi impor gasoline lebih dari 30 juta barel setahun.Langkah terakhir untuk mengurangi kebergantungan terhadap minyak adalah mengurangi besaran subsidi BBM untuk dialihkan pada sektor lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan pengembangan infrastruktur. Subsidi BBM yang diperkenalkan pertama kali pada era 1960-an, rata-rata menyedot 20% anggaran APBN, di mana pada 2013 total subsidi BBM mencapai 193 triliun untuk kuota sebesar 46 juta kiloliter, itu pun sesungguhnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.


Subsidi telah menyebabkan banyak orang terlupakan bahwa harga BBM sebenarnya mahal sehingga mengakibatkan pola konsumsi yang berlebihan dan boros. Disamping itu, alokasi anggaran yang besar untuk subsidi tersebut telah mengurangi alokasi anggaran untuk peningkatan kesejahteraan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.

 

 

Namun, harus diakui bahwa mengurangi subsidi bukan merupakan opsi yang mudah bagi pemerintah karena masyarakat telah sekian lama menikmatinya sehingga akan tidak populis jika ada upaya untuk menguranginya. “Kebijakan itu tidak hanya akan mengurangi beban pemerintah, melainkan juga akan memberikan level persaingan yang sama antara minyak dan sumber energy lainnya, terutama untuk percepatan pengembangan energi terbarukan. Ke depan, dengan pengurangan subsidi untuk alokasi seperti pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan maka dalam jangka panjang akan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga sangat membantu Indonesia untuk mencapai Millenium Development Goals sesuai target pada tahun 2015,” tutup Karen dalam pidatonya.

Share this post