Jakarta, 2 Agustus 2021 – PT Pupuk Indonesia (Persero) sepakat bersinergi dengan Pertamina NRE (PNRE). Sinergi ini dilakukan untuk menjajaki peluang pengembangan hidrogen dan penyediaan energi. Penjajakan ini tertuang dalam nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yang dilaksanakan secara virtual, Senin (2/8/2021). Penandatanganan dilakukan oleh Direktur Utama Pupuk Indonesia, Bakir Pasaman, dan Dannif Danusaputro selaku Chief Executive Officer PNRE.
Wakil Menteri BUMN I, Pahala Mansury mengatakan bahwa kerjasama yang dilakukan Pupuk Indonesia dengan Pertamina Power Indonesia sejalan dengan target net zero emission Indonesia.
“Ke depan BUMN perlu berupaya untuk mencapai target Indonesia menuju net zero emission sebelum tahun 2060, dan di tahun 2030 nanti yang perlu kita lakukan adalah memastikan bahwa emisi karbon yang dimiliki oleh Indonesia atau yang dihasilkan oleh Indonesia akan mengalami penurunan sampai dengan 29 persen,” jelas Pahala.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina dalam sambutannya mengatakan bahwa Pertamina tengah melakukan transisi energi yang sejalan dengan Grand Energy Strategy Indonesia, yaitu dari pengembangan yang didominasi energi berbasis fosil ke arah energi baru dan terbarukan.
"Sinergi BUMN antara Pertamina Power Indonesia sebagai subholding PNRE dengan Pupuk Indonesia ini sesuai dengan target transisi energi Pertamina dalam 5 hingga 6 tahun ke depan meningkatkan energy mix dari new and renewable energy sebesar 10 GW, yaitu 6 GW berbasis gas, 3 GW renewable energy, dan 1 GW new energy yang termasuk di dalamnya adalah hydrogen,” ungkap Nicke.
Direktur Utama Pupuk Indonesia, Bakir Pasaman mengatakan bahwa kerjasama ini tidak terbatas pada pengembangan hidrogen dan penyediaan energi saja. Melainkan pemanfaatan sarana dan peralatan teknologi dan komersialisasi green ammonia dan blue ammonia dengan menggunakan hidrogen sebagai bahan baku yang diproduksi oleh Pertamina Power Indonesia.
Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir yang tengah gencar mengkampanyekan pengurangan emisi karbon dalam rangka menciptakan industri yang lebih sustainable dan ramah lingkungan.
"Pupuk Indonesia Grup, menaruh perhatian besar terhadap pengurangan emisi karbon dan kami sudah mengkaji pengembangan green ammonia, selain juga blue ammonia," kata Bakir.
Amonia merupakan bahan baku utama untuk memproduksi pupuk. Sedangkan green ammonia dan blue ammonia merupakan amonia yang diproses dan dihasilkan dari sumber energi yang terbarukan. Amonia jenis ini memiliki kandungan karbon rendah, sehingga lebih ramah lingkungan dan dapat menjadi bahan baku pupuk di masa depan.
Untuk blue ammonia produksinya menggunakan blue hydrogen yang berasal dari sumber energi fosil. Karbon yang terbentuk dari proses produksi blue ammonia yaitu CO2 harus diinjeksikan kembali ke dalam perut bumi, dan terkait hal ini dikenal sebagai Carbon Capture Storage (CCS) Technology. Dari segi keekonomian, lebih efisien apabila CO2 dapat diinjeksikan ke dalam reservoir minyak ataupun gas yang sudah tidak digunakan lagi, dan lokasinya berdekatan dengan pabrik pupuk. Sedangkan green ammonia produksinya menggunakan green hydrogen yang berasal dari sumber energi bersih, seperti energi panas bumi.
Pertamina saat ini tengah mengembangkan hidrogen sebagai energi baru, baik blue hydrogen maupun green hydrogen. Untuk green hydrogen saat ini pengkajian dan uji coba dilakukan di wilayah kerja panas bumi Ulubelu yang dikelola Pertamina Geothermal Energy. Pertamina NRE beberapa waktu lalu juga telah menandatangani kerjasama dengan sejumlah pihak untuk mengembangkan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) khususnya di Field Gundih dan Field Sukowati.
Lebih jauh, MoU ini juga mencakup sejumlah hal seperti kajian kebutuhan green ammonia dan blue ammonia oleh Pupuk Indonesia, kajian harga jual-beli bahan baku hidrogen oleh Pertamina Power Indonesia, pemanfaatan sarana masing-masing perusahaan yang menunjang penerapan Carbon Capture Storage (CCS). Selain itu juga pengembangan kompetensi personil dalam teknologi komersialisasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Terakhir, kajian mengenai pengembangan secara strategis yang menguntungkan kedua belah pihak.